Senin, 08 September 2008

JURNAL 3

KEINFORMATIFAN LABA DI PASAR OBLIGASI DAN SAHAM:
UJI LIQUIDATION OPTION HYPOTHESIS

RATNA CANDRA SARI
Universitas Negeri Yogyakarta

ZUHROHTUN
UPN Veteran Yogyakarta

ABSTRACT
Previous empirical research on informativeness of earnings has
focused on stockholders, and has not examined earnings informativeness
for stockholders and bondholders. Stockholders are residual claimants
and bondholders are fixed claimants, the informativeness of earnings
should differ for these two types of investors. When firm is financially
strong, earnings changes should be of limited relevance to bondholders,
but should be relevance to bondholders. In contrast, as the likelihood of
financial distress increase, stockholder’s limited liability allows them to
abandon the firm to bondholder and earnings change should be
increasingly important to bondholders and less important to shareholders
because earnings provide information on firm value. This suggest that the
effect of earnings to stock return should decrease as the firm’s financial
strength declines, while the effect of earnings to bond return should
increase. In contrast, when firm’s financial condition is strong, the effect of
earnings to stock return is higher than the effect of earnings to bond
return. We refer to this as the liquidation option hypothesis.
The objective of this study is to examine liquidation option
hypothesis. We use bond rating as financial condition’s measurement.
Consistent with our hypotheses, we find that the effect of unexpected
earnings to stock return is significant when firm is financially strong but
the effect of unexpected earnings to bond return is not significant. When
financial distress increase, the effect of unexpected earnings to stock
return is not significant but the effect of unexpected earnings to bond
return is significant

Key words : earnings, liquidation option hypothesis, bond returns, stock
returns, informativeness of earnings

I. PENDAHULUAN
Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No.1 (1978)
menyatakan bahwa laporan keuangan seharusnya memberikan
informasi yang berguna untuk investor dan kreditor saat ini dan
potensial untuk membuat keputusan investasi, kredit, dan keputusan
lain yang sejenis. Salah satu informasi dalam laporan keuangan adalah
informasi laba, sehingga secara normatif kreditor dan investor dapat
menggunakan laba untuk keputusan investasi dan kredit.
Penelitian terdahulu berfokus pada keinformatifan laba pada
pasar saham (Ball dan Brown, 1968; Beaver dan Dukes, 1972; Sloan,
1996; Triyono) dan belum ada penelitian yang menguji perbedaan
keinformatifan laba di pasar saham dan obligasi. Obigasi dan saham
mempunyai karakteristik yang berbeda. Obligasi merupakan fixed
claims, sedangkan saham adalah residual claims. Pemegang obligasi
merupakan fixed claims karena berapa pun laba yang dihasilkan
perusahaan, mereka hanya akan menerima penghasilan berupa
pembayaran bunga dan pokok pinjaman pada saat jatuh tempo,
sedangkan pemegang saham merupakan residual claims karena dividen
yang akan diterima tergantung dari besarnya laba perusahaan setelah
dikurangi untuk pembayaran bunga dan pokok pinjaman bagi kreditor.
Berdasarkan perbedaan karakteristik tersebut, keinformatifan laba
seharusnya berbeda untuk pemegang obligasi dan saham.
Penelitian mengenai respons pasar obligasi terhadap unexpected
earnings announcements dilakukan oleh Datta & Dhillon (1993) dan
Hotchkiss & Ronen (1999). Penelitian Ratna dan Baridwan (2005)
menunjukkan bahwa kualitas laba berpengaruh terhadap yields
obligasi. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa laba
mempunyai kandungan informasi di pasar obligasi meskipun obligasi
merupakan fixed claims.
Pada saat kondisi keuangan perusahaan buruk, pemegang saham
mempunyai opsi likuidasi pada perusahaan karena adanya limited
liability artinya pemegang saham tidak bisa dituntut melebihi besar
modal yang disetor. Pemegang saham tidak akan menerima klaimnya
ketika kondisi perusahaan buruk dan harga saham menjadi tidak
sensitif pada perubahan laba. Pemegang saham akan melepaskan
perusahaan pada pemegang obligasi dan pendapatan pemegang obligasi
akan tergantung pada nilai perusahaan, sehingga laba menjadi lebih
informatif bagi pemegang obligasi karena laba digunakan sebagai salah
satu pengukur nilai perusahaan. Foster (1986) mengemukakan bahwa
nilai perusahaan dapat ditentukan dengan cara melakukan present
value terhadap aliran laba yang diharapkan akan diterima perusahaan.
Pada saat kondisi keuangan perusahaan baik, perubahan laba
sangat penting bagi pemegang saham karena klaim pemegang saham
akan tergantung pada besar laba yang dihasilkan perusahaan.
Sebaliknya, pemegang obligasi hanya akan menerima sebesar bunga dan
pokok pinjaman.
Plummer dan Tse (1999) menguji liquidation option hypothesis dan
prediksi teoretis yang dibentuk oleh Fisher and Verrecchia (1997).
Penelitian Plummer dan Tse menggunakan bond rating sebagai ukuran
kondisi keuangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada saat
kondisi keuangan perusahaan buruk, pengaruh laba terhadap harga
saham menurun tetapi pengaruh laba terhadap harga obligasi
meningkat. Pada saat kondisi keuangan perusahaan baik, pengaruh
laba terhadap harga saham meningkat, tetapi pengaruh laba terhadap
harga obligasi menurun.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penelitian ini bertujuan
sebagaii berikut. Pertama, menguji pengaruh perubahan laba terhadap
return obligasi dan return saham. Kedua, menguji liquidation option
hypothesis, yaitu menguji perbedaan pengaruh perubahan laba terhadap
return obligasi dan return saham pada saat kondisi keuangan
perusahaan baik dengan pada saat kondisi keuangan perusahaan
buruk.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para
peneliti dan akademisi. Pertama, memberikan bukti empiris pengaruh
informasi laba terhadap return obligasi dan return saham, meskipun
obligasi merupakan fixed claims. Kedua, menguji apakah keinformatifan
laba di pasar obligasi dan saham berbeda pada kondisi keuangan
perusahaan yang berbeda. Ketiga, dapat digunakan sebagai bahan
kajian dan pertimbangan serta peluang bagi para peneliti selanjutnya
untuk menyempurnakan penelitian ini. Keempat, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu
akuntansi keuangan terkait dengan pentingnya laba untuk melakukan
keputusan investasi pada sekuritas utang dan saham di Pasar Modal
Indonesia. Disamping itu penelitian diharapkan memberikan kontribusi
bagi investor institusional dan investor individual dalam memutuskan
strategi investasi yang tepat dengan mempertimbangkan pengaruh
perubahan laba pada return obligasi dan return saham.

II. KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Teori Sinyal
Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai
dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak
eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena
terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar.
Perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan
prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor).
Kurangnya informasi pihak luar mengenai perusahaan menyebabkan
mereka melindungi diri dengan memberikan harga yang rendah untuk
perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan
mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi
informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar.
Salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan
akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang
akan datang (Wolk et al., 2000).
Teori sinyal mengemukakan bagaimana seharusnya sebuah
perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan.
Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh
manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat
berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan bahwa
perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain.
Laporan keuangan seharusnya memberikan informasi yang
berguna bagi investor dan kreditor untuk membuat keputusan investasi,
kredit, dan keputusan sejenis. Laba merupakan bagian dari laporan
keuangan sehingga laba seharusnya juga berguna untuk keputusan
kredit. Laba dapat digunakan untuk menilai prospek perusahaan,
misalnya untuk (a) mengevaluasi performance manajemen, (b)
memperkirakan earning power, (c) memprediksi laba yang akan datang
atau (d) menilai risiko investasi, atau pinjaman pada perusahaan (FASB,
1978).

Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan
sebagai suatu kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal)
perusahaan. Satu principal atau lebih memberi wewenang dan otoritas
kepada agent untuk melakukan kepentingan principals. Manajer sebagai
pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban
menyediakan laporan keuangan cenderung akan melaporkan sesuatu
yang memaksimalkan utilitasnya dan hal ini memacu terjadinya konflik
keagenan.
Terdapat tiga macam masalah keagenan. Pertama, masalah
keagenan antara manajer dengan pemegang saham. Kedua, masalah
keagenan antara pemegang saham dengan kreditor. Ketiga, masalah
keagenan antara perusahaan dengan konsumen. Penelitian ini menguji
liquidation option hypothesis yang didasarkan pada teori keagenan.
Liquidation option hypothesis mencermati masalah keagenan antara
pemegang saham dan pemegang obligasi.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa penerbitan surat
utang dapat menimbulkan masalah antara manajer, pemegang saham,
dan kreditor sebagai berikut.
(1) Jika utang naik dalam struktur modal perusahaan maka risiko bisnis
dan operasi kreditor meningkat. Akan tetapi, keputusan investasi dan
operasi tetap pada manajer dan pemegang saham. Bisa terjadi dana
dari penerbitan obligasi tidak digunakan untuk investasi pada proyek
dengan NPV positif, tetapi digunakan untuk pembayaran dividen,
sehingga perusahaan gagal membayar utang kepada kreditor. Akan
tetapi kreditor tidak dapat menuntut banyak karena ada limited
liabilty dari pihak pemegang saham, artinya pemegang saham tidak
dapat dituntut lebih besar daripada modal disetor.
(2) Manajer-pemegang saham meyakinkan pihak kreditor bahwa mereka
akan mencari investasi yang aman guna menerima tingkat bunga
pinjaman yang rendah. Selanjutnya mereka melakukan investasi
pada proyek yang berisiko tinggi karena memberikan ekspansi imbal
balik yang tinggi pula. Jika proyek berhasil, maka utang dibayar
secara penuh dan imbal hasil yang tersisa sepenuhnya akan menjadi
hak pemegang saham. Akan tetapi, jika tidak sukses, maka utang
tidak dibayar atau pemegang saham dinyatakan gagal bayar.
Akhirnya yang menderita kerugian adalah pihak kreditor karena jika
investasi sukses, hanya menerima imbal hasil tetap. Sebaliknya, bila
investasi merugi harus menerima kerugian yang sama besar dengan
pemegang saham.

Liquidation Option Hypothesis
Liquidation option hypothesis adalah prediksi teoretis yang
digunakan untuk menguji keinformatifan laba di pasar obligasi dan
saham. Hipotesis ini menguji apakah laba digunakan dalam
pengambilan keputusan investasi dan kredit.
Gambar 1 berikut menunjukkan hubungan antara nilai perusahaan
dan nilai surat berharga. Sumbu horizontal menunjukkan nilai
perusahaan dan sumbu vertikal menunjukkan nilai surat berharga.
Gambar 1: Nilai Surat Berharga (Saham vs Obligasi) sebagai Fungsi
Nilai Perusahaan.
Sumber: Plummer dan Tse (1999)
F* adalah titik saat pemegang obligasi menerima klaimnya secara
penuh sebesar B*. Obligasi adalah fixed claims. Pada saat nilai
perusahaan lebih besar dari F
*
, klaim pemegang obligasi adalah tetap
yaitu sebesar B
*
, sedangkan ketika nilai perusahaan kurang daripada F
*
pemegang obligasi tidak akan menerima klaimnya secara penuh. Saham
adalah residual claims. Pemegang saham akan menerima pendapatannya
jika nilai perusahaan lebih besar daripada F
*
, jika kurang dari F
*
maka
pemegang saham tidak akan menerima apa-apa.
Stock value
Bond value
F
*
B
*
Firm Value (F)
Security Value
Bond vs Stock

Pada saat kondisi keuangan perusahaan buruk (Fkemungkinan pemegang saham melakukan opsi likuidasi pada
perusahaan meningkat karena pemegang saham tidak bisa dituntut
melebihi besar modal yang disetor. Pada kondisi keuangan perusahaan
buruk, pemegang saham tidak menerima klaimnya dan harga saham
menjadi tidak sensitif pada perubahan laba. Pemegang saham akan
melakukan opsi likuidasi dan melepaskan perusahaan pada pemegang
obligasi. Pada kondisi ini, pendapatan pemegang obligasi akan
tergantung pada nilai perusahaan. Foster (1986) mengemukakan bahwa
nilai perusahaan dapat ditentukan dengan cara melakukan present
value terhadap aliran laba yang diharapkan akan diterima perusahaan.
Dengan demikian, laba menjadi lebih informatif bagi pemegang obligasi
karena laba digunakan sebagai salah satu pengukur nilai perusahaan.
Pada saat kondisi keuangan perusahaan kuat (F>F*), perubahan
laba sangat penting bagi pemegang saham karena klaim pemegang
saham akan tergantung pada besar laba yang dihasilkan perusahaan
sehingga laba lebih informatif bagi pemegang saham, sebaliknya
pemegang obligasi hanya akan menerima sebesar bunga dan pokok
pinjaman.
Plummer dan Tse (1999) menguji liquidation hypothesis dan
prediksi teoretis yang dibentuk oleh Fisher and Verrecchia (1997).
Plummer dan Tse (1999) mengukur kondisi keuangan menggunakan
peringkat obligasi (bond rating). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada perusahaan yang mempunyai peringkat dengan kategori spekulatif
(speculative grade), pengaruh laba terhadap return saham lebih rendah
dibandingkan pengaruh laba terhadap return obligasi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pada saat kondisi keuangan buruk, laba menjadi
kurang relevan untuk penilaian saham tetapi lebih relevan untuk
penilaian obligasi. Pada perusahaan yang mempunyai peringkat dengan
kategori investasi (investment grade) pengaruh laba terhadap return
saham lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh laba terhadap return
obligasi.
Dhaliwal dan Reynolds (1994) melakukan pengujian pengaruh
default risk of debt (yang diukur dengan peringkat obligasi) terhadap
keinformatifan laba di pasar saham. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa earnings responsse coefficient berhubungan negatif dengan
default risk of debt. Semakin tinggi kemungkinan kegagalan pembayaran
utang, maka laba menjadi kurang informatif di pasar saham. Hasil
penelitian tersebut dapat dijelaskan dengan liquidation option hypothesis,
yaitu risiko kegagalan utang yang tinggi akan meningkatkan
kemungkinan likuidasi, sehingga laba menjadi lebih informatif di pasar
obligasi karena dapat digunakan untuk menentukan nilai perusahaan,
tetapi menjadi kurang informatif di pasar saham.
Review Penelitian Terdahulu dan Hipotesis
Tujuan investor dan kreditor menggunakan informasi laba adalah
untuk menilai risiko investasi atau pinjaman pada perusahaan, sehingga
secara normatif laba seharusnya berguna tidak hanya untuk pemegang
saham tetapi juga untuk pemegang obligasi dalam membuat keputusan
kredit. Penelitian Ball dan Brown (1968), Beaver dan Dukes (1972),
dan
Sloan (1996) menunjukkan bahwa laba mempunyai information content
di pasar saham. O’Bryan (1999), Khurana dan Raman (2003), Bhojraj
dan Swaminathan (2003), Baridwan dan Ratna (2005) menguji pengaruh
laba terhadap return obligasi, penelitian tersebut menunjukkan bahwa
laba berguna untuk pengambilan keputusan kredit.
H1 : Perubahan laba berpengaruh terhadap return saham.
H2 : Perubahan laba berpengaruh terhadap return obligasi
Obligasi merupakan fixed claims dan saham merupakan residual
claims. Perbedaan karakteristik saham dan obligasi menyebabkan
keinformatifan laba berbeda di pasar obligasi dan saham. Pada saat
kondisi keuangan baik, pemegang obligasi kurang memperhatikan laba
karena obligasi merupakan fixed claims tetapi laba menjadi informatif
bagi pemegang saham. Semakin tinggi laba, semakin tinggi pula
pendapatan yang akan diterima pemegang saham. Sebaliknya, pada saat
kondisi keuangan perusahaan buruk, laba menjadi lebih informatif bagi
pemegang obligasi dibandingkan dengan pemegang saham. Adanya
limited liability bagi pemegang saham menyebabkan pemegang saham
tidak dapat dituntut melebihi modal yang disetor. Pendapatan pemegang
obligasi sangat tergantung pada nilai perusahaan. Laba menjadi lebih
informatif bagi pemegang obligasi karena laba dapat digunakan untuk
menentukan nilai perusahaan.
Penelitian ini ingin menguji apakah terdapat perbedaan pengaruh
laba terhadap return obligasi dan saham pada kondisi keuangan baik
dan kondisi keuangan buruk.
Hipotesis ketiga yang diajukan adalah sebagai berikut.
H3 : Pengaruh perubahan laba terhadap return saham ketika kondisi
keuangan perusahaan baik lebih tinggi dibandingkan pengaruh
perubahan laba terhadap return saham ketika kondisi keuangan
perusahaan buruk.
H4 : Pengaruh perubahan laba terhadap return obligasi ketika kondisi
perusahaan baik lebih rendah dibandingkan pengaruh perubahan
laba terhadap return obligasi ketika kondisi keuangan perusahaan
buruk.

III. METODOLOGI PENELITIAN
Pemilihan Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan
manufaktur yang mengeluarkan saham dan obligasi. Penelitian ini
menggunakan periode pengamatan tahun 2001—2005 karena pada
periode tersebut volume perdagangan obligasi di pasar sekunder mulai
aktif dan emisi obligasi mengalami peningkatan. Pemilihan sampel yang
akan diuji dalam penelitian ini menggunakan metode purposive
sampling, yaitu metode pemilihan sampel dengan beberapa kriteria
tertentu. Kriteria yang dimaksudkan adalah sebagai berikut.
(1) Perusahaan yang menjadi sampel adalah perusahaan manufaktur
yang menerbitkan saham dan obligasi. Pemilihan perusahaan
manufaktur dimaksudkan untuk mengurangi bias yang timbul dari
perbedaan jenis perusahaan terkait dengan aktivitas utamanya.
(2) Obligasi yang termasuk dalam sampel adalah obligasi yang
mempunyai fixed rate coupon selama periode pengamatan.
(3) Obligasi tersebut masih beredar atau belum jatuh tempo dan tercatat
di Over The Counter Fixed Income Service (OTC FIS) di bursa Efek
Surabaya sehingga bisa diperoleh data harga rata-rata tertimbang
obligasi yang berlaku.
(4) Obligasi tersebut di-rating oleh PT PEFINDO atau PT Kasnic Credit
Rating Indonesia.
(5) Perusahaan yang menerbitkan obligasi dan saham mempunyai
laporan keuangan lengkap selama periode pengamatan.
Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah sampel yang digunakan dalam
penelithan ini terlihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1
Proses seleksi sampel
1 Perusahaan manufaktur yang menerbitkan saham dan
obligasi. (termasuk sampel penelitian)
160
2 Perusahaan menerbitkan obligasi yang tidak memenuhi
kriteria sbb:
- Obligasi mempunyai fixed rate coupon selama periode
pengamatan.
-
Obligasi tersebut masih beredar atau belum jatuh tempo
dan tercatat di Over The Counter Fixed Income Service (OTC
FIS) di bursa Efek Surabaya sehingga bisa diperoleh data
harga obligasi yang berlaku.
- Obligasi tersebut di-rating oleh PT PEFINDO atau PT Kasnic
59
Credit Rating Indonesia.
(tidak termasuk sampel)
3 Perusahaan yang menerbitkan obligasi dan saham mempunyai
laporan keuangan lengkap selama periode pengamatan.
(tidak termasuk sampel)
9
4 Jumlah sampel
92
Variabel dan Pengukuran Variabel
Variabel dependen dari penelitian ini adalah return saham dan
return obligasi. Return adalah hasil yang diperoleh dari investasi. Return
saham adalah perubahan harga saham selama periode pengamatan atau
secara sistematis dirumuskan sebagai berikut.
Rit =
1
1



it
it
it
P
P
P
Keterangan:
R
it
adalah return saham perusahaan i pada periode t
P
it
adalah harga saham perusahaan i pada periode t
P
it-1
adalah harga saham perusahaan i pada periode t-1
Return obligasi adalah hasil yang diperoleh kreditor dari obligasi yang
dimiliki. Pengukuran return obligasi menggunakan current yields.
Current yields adalah besar coupon obligasi relatif terhadap harga
pasarnya (Faerber, 2001):
Current yields =
t
t
p
c
Keterangan:
C
t
: bunga obligasi pada tahun t
P
t
: harga obligasi pada tahun t
Variabel independen dalam penelitian ini adalah unexpected
earnings. Unexpected earnings atau laba kejutan adalah selisih antara
laba sesungguhnya dengan laba ekspektasian. Laba ekspektasian
diperoleh dengan mengestimasi laba periode berjalan sama dengan laba
periode sebelumnya. Unexpected earnings diukur dengan rumus sebagai
berikut:
it
UE
=
1
1



it
it
it
E
E
E
Keterangan:
UE
it
= laba kejutan perusahaan i pada periode t
E
it
= laba akuntansi perusahaan i pada periode t
E
it-1
= laba akuntansi perusahaan i pada peioda t-1
Pengujian liquidation option hypothesis menggunakan peringkat
obligasi sebagai ukuran kondisi keuangan perusahaan. Peringkat
obligasi telah secara luas digunakan sebagai pengukur risiko default dan
kondisi keuangan perusahaan (Plummer dan Tse: 1999). Perusahaan
dengan perigkat berkategori spekulatif (speculative grade) yaitu BB-D
mempunyai risiko default yang tinggi karena kondisi keuangan
perusahaan buruk. Perusahaan dengan peringkat obligasi berkategori
investasi (investment grade) yaitu AAA-BBB mempunyai risiko default
rendah karena kondisi keuangan perusahaan baik.
Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
regresi berganda. Untuk mengetahui apakah laba berpengauh terhadap
return saham atau return obligasi (menguji hipotesis 1 dan 2) dilakukan
regresi dengan persamaan sebagai berikut.
R
it =
α
1
+ α
2
UE + e………………….(1)
CY
it
= β
1
+ β
2
UE + e……………….(2)
Keterangan:
R
it
= return saham perusahaan i pada periode t
CY
it
= return obligasi perusahaan i pada periode t
UE = unexpected earnings
Perusahaan
dikelompokkan
menurut
peringkat
obligasi
perusahaan. Regresi pada persamaan 1 dan 2 di atas dilakukan pada
kelompok perusahaan dengan peringkat berkategori investasi
(investment grade) dan spekulatif (speculative grade) untuk menguji
liquidation option hypotesis ( hipotesis 3 dan 4). Perbedaan pengaruh
laba terhadap return obligasi dan return saham pada kondisi keuangan
yang berbeda diuji dengan menggunakan two independent sample t-test.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Statistik Deskriptif
Sampel penelitian ini berjumlah 105 observasi untuk periode
penelitian tahun 2001 sampai dengan 2005. Peneliti melakukan
trimming. Trimming dilakukan untuk mengeluarkan outlier dari sampel
dengan cara menghapus N data dari atas dan N data dari bawah (Foster,
1986), sehingga jumlah sampel terdiri atas 92 observasi. Tabel 2
menunjukkan statistik deskriptif.
Tabel 2
Statistik Deskriptif
Mean
Std
Deviation
N
Saham
,2367
,85110
92
Obligasi
,1783
,0602
92
UE
,3295
1,56043
92
Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif untuk variabel-variabel
dependen dan independen dalam analisis regresi untuk menguji
hipotesis. Rata-rata return saham sebesar 0,2349. Rata-rata return
obligasi adalah 0,1816. Rata-rata unexpected earnings adalah 0,3295.

Analisis Regresi
Pengujian hipotesis 1 dilakukan dengan melakukan regresi pada
seluruh sampel penelitian menggunakan persamaan 1. Pengujian
hipotesis 3 dilakukan dengan melakukan regresi menggunakan
persamaan 1 pada kelompok sampel perusahaan yang mempunyai
rating investment dan speculative grade. Hasil regresi untuk pengujian
hipotesis 1 dan 2 ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3
Hasil Regresi Pengaruh Perubahan Laba terhadap Return Saham
R
it =
α
1
+ α
2
UE + e
α
1
α
2
t
p-value
Semua observasi
0,196 0,118
2,181 0,032
Pada rating investment (AAA-BBB)
0,0062 0,121
2,856 0,006
Pada rating speculative (BB – D)
0,714 0,0011 0,991 0,334
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada seluruh sampel,
perubahan laba berpengaruh secara signifikan terhadap return saham
(p<0,005). Hal itu mendukung hipotesis 1. Pada saat kondisi keuangan
perusahaan baik atau pada investement grade, perubahan laba
berpengaruh positif signifikan terhadap return saham. Pada kondisi
keuangan perusahaan buruk atau pada speculative grade, perubahan
laba tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Pengujian
perbedaan koefisien α
investment
dan α
speculative
tidak dilakukan karena
α
investment
signifikan, sedangkan α
speculative
tidak signifikan. Hal ini
mendukung hipotesis 3 dan teori bahwa saham adalah residual claims
sehingga pada saat kondisi keuangan perusahaan baik, perubahan laba
lebih informatif bagi pemegang saham karena pendapatannya
dipengaruhi besar laba yang dihasilkan. Pada saat kondisi keuangan
perusahaan buruk, pemegang saham tidak akan menerima
pendapatannya dan kemungkinan melakukan opsi likuidasi meningkat
sehingga laba menjadi kurang informatif.
Pengujian selanjutnya adalah untuk mengetahui apakah
perubahan laba berpengaruh terhadap return obligasi. Hasil pengujian
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4
Hasil Regresi Pengaruh Perubahan Laba terhadap Return Obligasi
CY
it
= β
1
+ β
2
UE + e
Β
1
β
2
T
p-
value
Semua observasi
0,181 0,00017 -3,737 0,000
Pada rating investment (AAA-BBB)
0,156 0,000025 -0,084 0,934
Pada rating speculative (BB – D)
0,254 0,00012 -2,515 0,021
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada seluruh sampel,
perubahan laba berpengaruh secara signifikan terhadap return obligasi
(p<0,005). Hal itu mendukung hipotesis 2. Pada saat kondisi keuangan
perusahaan baik atau pada investment grade, perubahan laba tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap return obligasi. Pada kondisi
keuangan perusahaan buruk atau pada speculative grade, perubahan
laba berpengaruh signifikan terhadap return obligasi. Pengujian
perbedaan koefisien β
speculative
dan β
investment
tidak dilakukan karena
β
speculative
signifikan, sedangkan β
investment
tidak signifikan. Hal ini
mendukung hipotesis 4 dan teori bahwa obligasi adalah fixed claims
sehingga pada saat kondisi keuangan perusahaan baik atau pada
investment grade, perubahan laba kurang informatif bagi pemegang
obligasi karena berapapun besar laba yang dihasilkan perusahaan,
pendapatan pemegang obligasi hanya sebesar kupon dan pokok
pinjaman. Pada saat kondisi keuangan perusahaan buruk laba lebih
informatif bagi pemegang obligasi.

V. SIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN
Simpulan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keinformatifan
laba di pasar obligasi dan saham serta menguji liquidation option
hypothesis. Saham dan obligasi mempunyai karakteristik yang berbeda.
Obligasi adalah fixed claims dan saham adalah residual claims sehingga
keinformatifan laba di pasar saham dan obligasi seharusnya berbeda.
Liquidation option hyothesis memprediksi bahwa pengaruh laba terhadap
return saham pada kondisi perusahaan baik lebih tinggi dibandingkan
dengan pengaruh laba terhadap return saham pada kondisi keuangan
perusahaan buruk dan pengaruh laba terhadap return obligasi pada
kondisi keuangan perusahaan baik lebih rendah dibandingkan dengan
pengaruh laba terhadap return obligasi pada kondisi keuangan
perusahaan buruk. Pengujian liquidation option hyothesis menggunakan
peringkat obligasi sebagai proxy kondisi keuangan perusahaan.
Hasil penelitian ini mendukung hipotesis, bahwa perubahan laba
berpengaruh terhadap return saham dan obligasi. Penelitian ini juga
mendukung liquidation option hypothesis.
Implikasi dan Keterbatasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laba informatif di pasar
obligasi, meskipun obligasi adalah fixed claims. Oleh karena itu
diharapkan perusahaan dan berbagai pihak yang berkepentingan,
seperti auditor, akuntan, dan pihak lain tetap menjaga dan
meningkatkan kualitas laba sehingga laba menjadi informasi yang bisa
digunakan untuk mengambil keputusan, baik investasi maupun kredit
Keterbatasan penelitian ini adalah penghitungan return obligasi
menggunakan data harga bulanan. Hal ini disebabkan oleh frekuensi
perdagangan obligasi di Indonesia yang masih jarang. Penelitian
selanjutnya perlu dilakukan untuk menguji konsistensi hasil dengan
memperpanjang periode penelitian dan memperbanyak sampel
penelitian, yaitu tidak hanya perusahaan manufaktur.

DAFTAR PUSTAKA
Ball, R. dan P. Brown. 1968. An Empirical Evaluation of Accounting
Income Numbers. Journal of Accounting Research 6 (Autum),159-
178.
Baridwan, Zaki dan Ratna Candra Sari. 2005. Pengaruh Kualitas Laba
terhadap Yields Obligasi dengan Risiko Kredit sebagai Variabel
Pemoderasi. Thesis. Tidak Dipublikasikan.
Beaver, W.H. dan R.E. Dukes. 1972. Interperiod Tax Allocation, Earnings
Expectations, and Behaviour of Security Prices. The Accounting
Review 47, 320-333.
Bhojraj, Sanjeev dan Bhaskaran Swaminathan. 2003. How Does the
Corporate Bond Market Value Capital Investments and Accruals.
Working paper.
Datta, Sudip dan Upinder S. Dhillon. 1993. Bond and Stock Market
Responsse to Unexpected Earnings Announcements. Journal of
Financial and Quantitative Analysis 28, 565-577.
Dhaliwal, D dan Reynolds. 1994. The Effect of Default Risk of Debt on
The Earnings Responsse Coefficient. Journal of Accounting and
Economics11,143-181.
Faerber, Esme. 2000. Fundamentals of The Bond Market. McGraw-Hill.
FASB. 1996. Accounting Standards, Statement of Financial Accounting
Concepts. John Wiley & Sons, Inc.
Fischer, Paul E. dan Robert E. Verrecchia. 1997. The Effect of Limited
Liability on The Market Responsse to Disclosure. Contemporary
Accounting Research 14, 515-541.
Foster, George.1986. Financial Statement Analysis. Prentice-Hall
International Inc.
Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics 3
rd
Edition. Mc-Graw Hill
International Edition.
Jensen, M.C. dan W.H Meckling. 1976. Theory of The Firm: Managerial
Behavior, agency Cost and Ownership Stucture. Journal of Financial
Economics3, 305-360.
Khurana, Inder K. dan K.K Raman. 2003. Are Fundamentals Priced in
the Bond Market? Contemporary Acounting Research Vol 20. No.3,
465-494.
O’ Bryan, David., Jeffrey J.Quirin dan Kevin T.Berry. 1999. The Role of
Accruals and Cash Flow in the Corporate Bond Market. The Mid-
Atlantic Journal of Business 35, 189-202.
Plummer, C. Elizabeth dan Senyo Y.Tse. 1999. The Effect of Limited
Liability on the Informativeness of Earnings: Evidence from the
Stock and Bond Markets. Contemporary Accounting Research 16,
541-574.
Sloan, R.G. 1996. Do stock prices fully reflect information in accruals
and cash flows about future earnings? The Accounting Review (July),
289-315.
Wolk, Harry I., Michael G. Tearney, dan James L Dodd. 2000. Accounting
Theory: A Conceptual and Institutional Approach. South-Western
College Publishing.
Yayasan Pendidikan Pasar Modal Indonesia & Sinergy Communication.
2004. Pasar Obligasi Indonesia 2004.

Senin, 01 September 2008

jurnal (chp 3)

1 EFISIENSI PASAR MODAL PADA SAAT BULLISH DAN BEARISH DI PASAR MODAL INDONESIA
David Sukardi Kodrat
Program Studi International Business Management Fakultas Ekonomi Universitas Ciputra
email: david.kodrat@ciputra.ac.id
ABSTRACT
Efficiency Market Hypothesis shows three grades in efficient capital market. They are: (1) weak – form efficiency, (2) semi – strong form efficiency and (3) strong – form efficiency. The weak – form efficiency if share prices fully reflect the information available by all prior price movements.
This research has propose to know whether efficiency Indonesian Capital Market is weak form efficiency both of two conditions, bullish and bearish condition. This means if someone trades stock by using historical information, it will not earn abnormal return.
This research uses real estate industries listed on Jakarta Stock Exchange as a sample. Sample selection is performed based on purposive sampling method with object to gain sample according to the research aim. Based on those criteria, there are 18 companies, which have been fulfilling the conditions needed, starting from 1994 until 2002. The classification of condition on bullish and bearish to used stock pricing indexes of property and real estate which calculated by arithmatic mean method.
The result show: (1) Indonesian Capital Market is weak form efficiency both of two conditions, bullish and bearish condition, (2) joint data for two conditions show better decision making than bullish or bearish condition and (3) prior price movements (Ht-1) is better applied to invest on bullish conditions than bearish condition. In bearish condition, investors will be irrational reflecting errors, biases, emotions and panics. So they will pay attention psychological value.
Key Words: Efficiency Market Hypothesis, bullish, bearish

PENDAHULUAN
Perkembangan pasar modal di Indonesia diawali sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia dengan nama Vereniging Voor de Effekteenhundel. Tujuannya untuk menghimpun dana guna menunjang ekspansi usaha perkebunan milik Kolonial Belanda (Purba, 2000). Meletusnya perang dunia pertama membuat kegiatan pasar modal berhenti.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, pada 1 September 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 13 tentang bursa yang kemudian ditetapkan sebagai UU Bursa No. 15 tahun 1952. Sejak dimulai pemerintahan Orde Baru, pemerintah mulai secara serius memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan pasar modal.
Selama 12 tahun terakhir (1994 sampai dengan tahun 2005), bursa efek Jakarta (BEJ) berkembang dengan sangat pesat bila ditinjau dari berbagai indikator yang lazim digunakan sebagai tolak ukur kemajuan bursa. Jumlah emiten bertambah dari 217 (1994) menjadi 336 (2005) atau naik sebesar 54,8%. Volume saham yang tercatat bertambah dari 23.85 miliar saham (1994) menjadi 401,87 miliar saham (2005) . Demikian pula halnya dengan nilai kapitalisasi pasar setiap tahun bertambah dari Rp 103.84 triliun (1994) menjadi Rp 801.25 triliun (2005) atau naik sebesar 771,6%.
Perkembangan pasar modal juga ditentukan oleh faktor ekonomi. Hasil penelitan Machfoedz dan Suciwati (2002) menunjukkan bahwa bila nilai tukar yang berfluktuasi tinggi akan menimbulkan depresiasi nilai tukar rupiah sehingga return saham akan turun. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa pada kondisi di mana nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, maka reaksi pasar uang terhadap pasar modal di Indonesia mempunyai arah hubungan yang berlawanan.
Sebelum melakukan investasi di Pasar modal, hal yang perlu diperhatikan adalah kinerja pasar modal. Minat investor mencerminkan apakah suatu bursa telah bekerja secara efisien atau 2
sebaliknya, demikian pula perkembangan kinerja emiten mengalami peningkatan atau sebaliknya.
Suatu bursa disebut efisien kalau bursa tersebut dapat menyediakan jasa-jasa yang diperlukan oleh para pemodal dengan biaya minimal. Pasar modal yang efisien juga diartikan sebagai pasar yang berada dalam keadaan keseimbangan sehingga keputusan perdangangan saham berdasarkan atas informasi yang tersedia di pasar tidak dapat memberikan keuntungan di atas tingkat keuntungan keseimbangan, atau yang disebut external efficiency (Husnan, 1996).
Salah satu konsep yang membahas tentang efisiensi pasar modal adalah konsep Efficiency Market Hypothesis. Konsep ini membahas tentang reaksi pasar yang tercermin pada penyesuaian harga terhadap munculnya informasi baru. Penelitian ini akan menguji bentuk pasar modal Indonesia berdasarkan konsep Efficiency Market Hypothesis pada kondisi bullish, bearish dan gabungan keduanya.

LANDASAN TEORI
Macam-macam Pasar Efisien
Ada tiga macam pasar efisien yaitu: (1) pasar efisien secara informasi (informationally efficient market), (2) pasar efisien secara operasional (operationally efficient market) dan (3) pasar efisien secara keputusan (decisionally efficient market). Pasar efisien secara informasi (informationally efficient market) yaitu keseimbangan harga mencerminkan konsensus bersama antara semua partisipan pasar tentang nilai dari aktiva tersebut berdasarkan informasi yang tersedia secara cepat dan akurat.
Pasar efisien secara operasional (operationally efficient market) yaitu operasi pasar dapat dilakukan dengan cepat (liquid) dan biayanya murah. Terakhir adalah pasar efisien secara keputusan (decisionally efficient market) adalah pasar yang mencerminkan ketersediaan informasi dan investornya pandai untuk mengambil keputusan yang benar (kecanggihan pelaku pasar). Dari ketiga macam pasar efisien yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pasar efisien secara informasi (informationally efficient market).
Pasar Efisien Secara Informasi
Efisiensi pasar didefinisikan oleh Beaver (1989) sebagai korelasi antara harga saham dan informasi. Efisiensi pasar secara informasi pun masih dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: (1) definisi pasar efisiensi berdasarkan nilai intrinsik sekuritas, (2) definisi efisiensi pasar berdasarkan akurasi harga sekuritas (Fama, 1970), dan (3) definisi efisiensi pasar berdasarkan distribusi dari informasi (Beaver, 1989). Penelitian ini akan membahas efisiensi pasar secara informasi berdasarkan akurasi harga sekuritas.
Konsep yang membahas tentang pasar efisien secara informasi berdasarkan nilai akurasi harga sekuritas dikenal dengan konsep Efficiency market hypothesis. Konsep ini pada dasarnya berkenaan dengan reaksi pasar (yang tercermin pada penyesuaian harga) terhadap munculnya informasi baru. Fama (1970) menyajikan tiga bentuk utama efisiensi pasar berdasarkan tiga bentuk informasi, yaitu informasi masa lalu, informasi sekarang yang sedang dipublikasikan dan informasi private. Berdasarkan ketiga bentuk informasi, pasar efisien dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Weak – Form Efficiency (efisiensi lemah) yaitu harga saham di pasar modal mencerminkan semua informasi historis pergerakan harga saham. Bentuk ini berkaitan dengan random walk theory yang menyatakan bahwa data masa lalu tidak berhubungan dengan nilai sekarang. Menurut teori ini, analisis teknikal yang berusaha memprediksi harga saham berdasarkan informasi harga historis adalah suatu kesia-siaan. Karakteristik weak form (Fama, 1965) adalah: (a) urutan perubahan harga independen satu sama lain dan (b) perubahan harga menyesuaikan dengan distribusi probabilitas.

2. Semi – Strong Form Efficiency (efisiensi setengah kuat) yaitu harga saham sudah mencerminkan semua informasi yang tersedia untuk publik (all publicity available information). Tidak ada investor yang mendapat untung dengan hanya mengandalkan informasi yang tersedia untuk umum. Infomasi yang dipublikasikan dapat berupa: (a) informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi hanya harga sekuritas perusahaan yang mempublikasi. Contoh: pengumuman laba, pembagian dividen dan perubahan pergantian manajemen, (b) informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi harga sekuritas sejumlah perusahaan. Contoh: regulasi pemerintah, dan ( c ) informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi semua harga saham perusahaan go publik. Contoh: regulasi yang mewajibkan semua perusahaan mencantumkan laporan arus kas. Jadi, analisis fundamental untuk memprediksi harga saham adalah kesia-siaan.

3. Strong – Form Efficiency (efisiensi kuat) yaitu harga saham sudah mencerminkan semua informasi tentang perusahaan baik itu informasi yang dipublikasikan ataupun informasi yang tidak dipublikasikan (private information). Dengan demikian, percuma saja usaha investor, yang mempunyai informasi umum maupun informasi orang dalam, untuk memprediksi harga saham.

Tujuan Fama (1970) membedakan tiga bentuk efisien ini adalah untuk mengklasifikasikan penelitian empiris terhadap efisiensi pasar. Ketiga bentuk pasar efisien ini saling berhubungan berupa tingkatan yang kumulatif. Artinya bentuk lemah merupakan bagian dari bentuk setengah kuat dan bentuk setengah kuat merupakan bagian dari bentuk kuat. Tingkatan kumulatif ini mempunyai implikasi bahwa pasar efisien bentuk setengah kuat adalah juga pasar efisien bentuk lemah. Pasar efisien bentuk kuat adalah juga pasar efisien bentuk setengah kuat dan pasar efisien bentuk lemah. Implikasi ini tidak berlaku sebaliknya, yaitu pasar efisien bentuk lemah tidak harus berarti pasar efisien bentuk setengah kuat (Hartono, 2005).
Konsep ini pernah diuji oleh beberapa peneliti, antara lain Cootner (1974), Fama (1965) dan Legowo dan Machfoedz (2002). Cootner (1974) menguji efisiensi pasar modal di NYSE menggunakan 45 perusahaan dengan pengukuran logaritma dari return relatif. Korelasi logaritma return relatif periode ke-t dengan logaritma return relatif periode seminggu sebelumnya dan 14 minggu sebelumnya adalah sebesar -0,047 dan 0,131. Fama (1965) dengan menggunakan pengukuran yang sama di 30 emiten yang ada di NYSE menghasilkan nilai-nilai korelasi sebesar 0,026, -0,039, -0,053, -0,57 berturut-turut untuk interval: 1 hari, 4 hari, 9 hari dan 16 hari. Hasil empiris ini menunjukkan bahwa pasar modal NYSE sudah efisien dalam bentuk lemah, karena korelasi perubahan harga antar periode tidak signifikan menunjukkan adanya independensi harga sekuritas dari satu periode ke periode yang lain.
Legowo dan Machfoedz (2002) menguji efisiensi pasar modal Indonesia menggunakan run test dengan berdasarkan data tahun 1989 (bullish) dan 1992 (normal). Hasil penelitiannya menunjukkan baik pada kondisi normal maupun bullish, pasar modal di Indonesia efisien dalam bentuk lemah.
Kondisi pasar yang sedang aktif (bull market) ditunjukkan oleh kenaikan harga saham disertai dengan kenaikan volume transaksi, frekuensi transaksi dan indeks harga saham. Sebaliknya kondisi pasar sedang lesu (bear market) ditunjukkan oleh penurunan harga saham yang diikuti dengan penurunan volume transaksi, frekuensi transaksi dan indeks harga saham (Jones, 1998).
Fluktuasi saham dapat pula terjadi dalam kurun waktu tahunan, bulanan dan bahkan mingguan. Penelitian French (1980) menunjukkan bahwa return pada hari Senin lebih rendah dibandingkan return di hari lainnya dalam satu minggu. Hasil penelitian French menunjukkan bahwa return sekuritas mempunyai pola siklikal dengan return terendah di hari Senin. Rozeff dan Kinney (1976) menunjukkan bahwa return sekuritas pada bulan Januari secara signifikan lebih besar dari return bulan-bulan yang lainnya. Return yang mereka gunakan ini adalah raw return. Ketika mereka menggunakan abnormal return yang didasarkan pada model market based pricing, efek Januari menjadi hilang.
Penelitian French (1980) dan Rozeff dan Kinney (1976) menunjukkan suatu pola pergerakan harga saham. Pola ini disebut pola siklikal yang dapat terjadi pada pasar tidak efisien bentuk lemah.
Syarat-Syarat Pasar Yang Efisien
Berikut ini adalah syarat-syarat untuk pasar yang efisien (Rodoni dan Yong, 2002 dan Hartono, 2005) yaitu:

1. Harga sekuritas ditentukan oleh demand dan supply dari banyak investor. Artinya bahwa seorang pelaku pasar tidak dapat mempengaruhi harga sekuritas. Investor adalah penerima harga (price taker).

2. Informasi tersedia secara luas untuk semua pelaku pasar pada saat yang bersamaan dan harga untuk memperoleh informasi tersebut murah.

3. Informasi dihasilkan secara acak (random) dan tiap-tiap pengumuman informasi sifatnya random satu dengan yang lainnya. Informasi dihasilkan secara random artinya bahwa investor tidak dapat memprediksi kapan emiten akan mengumumkan informasi yang baru.

4. Investor bereaksi dengan menggunakan informasi secara penuh dan cepat, sehingga harga sekuritas berubah dengan semestinya. Mencerminkan informasi tersebut untuk mencapai keseimbangan baru. Kondisi ini terjadi karena pelaku pasar merupakan individu-individu yang canggih sehingga mampu memahami dan menginterpretasikan informasi dengan cepat dan baik.

Kritik atas Efficiency Market Hypothesis
Kritik terhadap kelemahan efficiency market hypothesis telah menimbulkan teori-teori baru mengenai informasi yang mempengaruhi harga saham, seperti teori noise (noise theory) dan teori chaos (chaos theory). Teori noise (Cunningham dalam Nasution, 2001) menyebutkan bahwa attribute market breaks and excess volatility to irrational investors who overreact to the flow of information. Jadi menurut teori noise, investor di pasar modal dipengaruhi oleh aspek psikologis dan emosi yang tidak berkaitan dengan nilai-nilai fundamental. Dari sini dapat disimpulkan bahwa teori noise mengembangkan teori mengenai perubahan harga berdasarkan faktor psikologis dan emosi tidak hanya dari informasi fundamental, sedangkan teori chaos memberikan pandangan yang lebih luas.
Teori Chaos menolak teori efficiency market hypothesis dan menyatakan bahwa harga bergerak secara random dan praktis. Tetapi teori chaos ini setuju terhadap teori efficiency market hypothesis dan teori noise dalam hal informasi yang dicerna dengan cepat. Pandangan teori chaos terhadap informasi menekankan informasi tidak segera diadopsi oleh harga pasar sebagaimana diprediksi oleh teori efficiency market hypothesis dan teori noise. Teori chaos mengkonseptualkan apa yang oleh teori noise diidentifikasi sebagai informasi yang efisien.
Teori chaos melahirkan perbaikan yang dramatis atas model-model terdahulu. Pertama, teori chaos menunjukkan bahwa informasi mempunyai nilai yang berlanjut, bahkan sesudah transaksi terjadi, dengan hasil efisiensi dalam bentuk yang lemah pada pendekatan efficiency market hypothesis. Kedua, nilai yang berlanjut ini secara tidak langsung kemungkinan akan mempengaruhi kekuatan ekonomi makro, struktur dan teknis yang berjalan secara sistematis pada perilaku pasar dan harga. Mekanisme ini menunjukkan mekanisme penentuan harga pasar

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efisiensi pasar modal Indonesia pada kondisi bullish, bearish dan gabungan keduanya. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksplanatoris.
Penelitian jenis eksplanatoris ini sesuai dengan pengertian yang dijelaskan oleh Singarimbun dan Effendi (1995), yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud penjelasan (explanatory atau confirmatory), yang memberikan penjelasan atau hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesis.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah perusahaan go public di sektor properti dan realestat yangterdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ), yaitu sebanyak 33 emiten. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Sampling yaitu sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dapat diperoleh sampel yang representatif. Beberapa kriteria yang ditetapkan untuk memperoleh sampel meliputi:

1. Go publik terakhir tahun 1994 dan masih terdaftar di Bursa Efek Jakarta sampai dengan 31 Desember 2002. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh adanya perbedaan umur perusahaan selama menjadi perusahaan publik.

2. Perusahaan harus perusahaan di sektor properti dan realestat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh perbedaan industri (industry effect).

3. Perusahaan harus mempunyai laporan keuangan tahunan mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 2002 yang berakhir pada tanggal 31 Desember. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya pengaruh parsial dalam pengukuran variabel.

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka dari populasi perusahaan di sektor properti dan realestat sebanyak 33 emiten yang dapat dikategorikan menjadi sampel hanya 18 emiten.
Penentuan kondisi bullish dan bearish dilakukan dengan menggunakan Indeks Harga Saham Properti (IHS Properti). Apabila Indeks Harga Saham Properti di atas 64, maka kondisi pasar modal dikatakan dalam kondisi bullish. Namun apabila Indeks Harga Saham Properti di bawah 64, maka kondisi pasar modal dikatakan dalam kondisi bearish. Penentuan indeks harga saham dengan cut of point 64 berdasarkan rata-rata (arithmatic mean) Indeks Harga Saham Properti pada tahun 1994 - 2002. Penggunaan Indeks Harga Saham Properti lebih mencerminkan fluktuasi harga perusahaan di sektor properti. Sebagai contoh pada tahun 1996, Indeks Harga Saham Gabungan meningkat sebesar 24,05 persen dibandingkan dengan tahun 1995. Namun pada tahun 1996, Indeks Harga Saham properti meningkat sebesar 35,96 persen dibandingkan dengan tahun 1995 (Tabel 1).
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 1999, IHSG berada pada posisi puncak (676,92) sedangkan IHS Properti masih menunjukkan pada posisi di bawah 64. Namun demikian IHS Properti telah mengalami kenaikan sebanyak 2 kali (55,811/27,42) dibandingkan pada tahun 1998 dan pada tahun-tahun berikutnya IHS Properti berada pada kisaran 24 sampai dengan 27. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak sama dengan perubahan Indeks Harga Saham Properti. Maknanya bahwa respons pasar terhadap saham-saham properti setelah krisis moneter sangat rendah.












Berdasarkan cut of point sebesar 64, kemudian ditentukan kondisi pasar modal apakah dalam kondisi bullish atau dalam kondisi bearish sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi di Pasar Modal
Tahun IHSG % Δ IHSG IHS Properti % Δ IHS Properti Kondisi
1994 469.64 89.232 Bullish
1995 513.85 9,41% 105.131 17,82% Bullish
1996 637.43 24,05% 143.665 35,96% Bullish
1997 401.71 -36,98% 72.000 -49,88% Bullish
1998 398.04 -0,91% 27.420 -61,92% Bearish
1999 676.92 70,06% 55.811 103,54% Bearish
2000 416.32 -38,49% 27.862 -50,08% Bearish
2001 392.04 -5,83% 26.974 -3,19% Bearish
2002 424.95 8,39% 24.325 -9,82% Bearish


Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran variabel
Variabel Dependen
Adapun yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah harga saham (Ht), yaitu pada kondisi bullish, bearish dan pada kondisi gabungan. Harga saham (Ht) diukur dengan harga saham penutupan (closing price) tahun berjalan (t) yaitu harga saham penutupan tahun 1994 sampai dengan tahun 2002.
Penentuan Kondisi Bullish dan Bearish
Biasanya untuk menentukan satu range individual menjadi satu range indikator dilakukan dengan memberi skala kemudian dirata-ratakan (Green dan Beckman, 1993). Sehingga kondisi bullish dan bearish dapat dihitung dengan merata-ratakan IHS properti dari tahun 1994 – 2002 dan diperoleh cut of point sebesar 64 (572,42/9). Berdasarkan cut of point tersebut, kondisi bullish dan kondisi bearish dapat ditentukan dengan cara berikut ini:

a. Kondisi bullish yaitu apabila indeks harga saham properti > 64.

b. Kondisi bearish yaitu apabila indeks harga saham properti < 64.

Variabel Independen
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham pada saat t-1. Variabel ini diukur dengan harga saham penutupan (closing price) tahun sebelumnya (t-1) yaitu harga saham penutupan tahun 1993 sampai dengan tahun 2001.

Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber yang diterbitkan oleh pemerintah, pihak swasta maupun pihak luar negeri. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif berupa time series dan cross sectional yang diperoleh dari Bursa Efek Jakarta dan Indonesian Capital Market Directory. Sedangkan pengumpulan data, menggunakan teknik dokumentasi dengan tipe pooled data (Gujarati, 1982).
Data sekunder yang dikumpulkan berupa berupa harga saham penutupan bulanan (closing price) perusahaan sampel dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2002.


Analisis Data
Studi ini menguji adanya hubungan antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Dengan menggunakan program Eviews, autoregression dihitung dengan model berikut ini (Kodrat, 2006):
Ht = Lt + Bo Ht – 1 + et
di mana:
Ht = Harga saham t merupakan hasil market valuation para investor (pelaku pasar)
Lt = Konstanta
Bo = Konstanta
Ht – 1 = Harga saham pada t-1
et = Error term model
Model di atas merupakan model autoregression tingkat pertama (AR1). Bila koefisien autoregression model signifikan akan memberikan indikasi ketidakefisienan atau setidaknya efisien yang lemah atau weakly efficiency.
Model time series biasanya digunakan jika peneliti tidak mengetahui dengan baik variabel determinan. Dalam penelitian ini harga saham dapat dianggap sebagai hasil interaksi berbagai faktor yang ada di pasar modal yang tidak dapat diobservasi dengan jelas atau harga saham merupakan ekspektasi pasar (market expectation) terhadap kinerja perusahaan (Pindyck dan Rubinfeldt, 1991 dan Rappaport dalam Dewi, 2004).

Uji Hipotesis
Langkah-langkah dalam menguji hipotesis sebagai berikut:
a. Menghitung koefisien regresi
b. Uji t adalah pengujian hipotesis secara individual, yaitu menguji setiap koefisien regresi parsial satu
per satu.
c. Menghitung R2 untuk mengetahui seberapa besar variasi harga saham dapat diperjelas oleh variabel- variabel bebas dalam penelitian ini.

HASIL DAN DISKUSI
Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) terhadap Harga Saham Sekarang (Ht) pada Kondisi Bullish dan Bearish.
Hasil uji hipotesis dengan autoregression pada Tabel 2 menunjukkan besarnya pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) baik pada kondisi bullish dan bearish dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,4118 yang berarti 41,18% variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan (berarti) terhadap harga saham sekarang (Ht). Sisanya sebesar 58,82% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel penelitian.
Hal ini sesuai dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang tidak bergerak sama dengan Indeks Harga Saham Sektor Properti dan Realestat (Tabel 1). Artinya harga saham sekarang (Ht) tidak hanya dipengaruhi oleh harga saham kemarin (Ht-1) tetapi dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel harga.







Tabel 2. Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) Terhadap Harga Saham Sekarang (Ht)
Variabel Koefisien B p value
HSAHAM-1 0,4839 0,0000
Konstanta 257,6067 0,0047
R Squared (R2) 0,4118
Durbin-Watson 2,5236
Akaike info criterion 16,2921
Schwarz criterion 16,3333
Keterangan: Variabel dependen = Harga Saham Sekarang (Ht)
Sumber : Data Sekunder Diolah

Tabel 2 menunjukkan bahwa variabel harga saham kemarin (Ht-1) mempengaruhi harga saham sekarang (Ht). Hal ini dibuktikan adanya serial korelasi atau autokorelasi antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Artinya pada periode 1994 – 2002, pasar modal Indonesia adalah tidak efisien. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat Tabel 3 di mana harga saham cenderung mengikuti pola tertentu.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata harga saham di sektor properti pada kondisi bullish dan bearish berbeda. Pada kondisi bullish, harga saham di sektor properti lebih tinggi dibandingkan pada kondisi bearish. Pada kondisi bullish, harga saham tertinggi terjadi pada tahun 1994 yaitu sebesar Rp 3.173,61. Ditahun-tahun berikutnya, harga saham di sektor properti cenderung mengalami penurunan hingga mencapai Rp 702,78 di tahun 1997.

Tabel 3. Perkembangan Harga Saham Perusahaan di Sektor Properti dan Realestat 1994 – 2002
Tahun Harga Saham Penjualan Rumah
1994 Rp 3.173,61 1.900.000
1995 Rp 2.162,50 2.500.000
1996 Rp 1.727,78 2.500.000
1997 Rp 702,78 2.000.000
Rata-rata Bullish Rp 1.941,66 2.225.000
1998 Rp 329,17 1.500.000
1999 Rp 626,39 900.000
2000 Rp 271,94 942.000
2001 Rp 439,72 1.251.000
2002 Rp 370,28 2.000.000
Rata-rata Bearish Rp 407,50 1.281.400
Rata-rata Rp 1.089,35

Sumber: JSX dan Pusat Studi Properti Indonesia, data diolah.

Pada kondisi bearish, harga saham properti lebih berfluktuasi. Harga saham tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar Rp 626,39 dan harga saham terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu Rp 271,94.
Fuktuasi harga saham di pasar modal berbeda dengan angka penjualan properti di sektor riil (Tabel 3). Investor seringkali mempertentangkan investasi di pasar modal dan investasi di sektor riil. Peningkatan investasi di sektor riil dapat dilihat dari fluktuasi penjualan properti dan realestat. Penjualan properti selama krisis moneter di semester II 1997 mengalami penurunan sampai dititik puncak pada tahun 1999. Penjualan rumah di tahun 1995 dan 1996 hampir mencapai 2.500.000 unit, di tahun 1997 sebanyak 2.000.000 unit, di tahun 1998 sebanyak 1.500.000 unit, di tahun 1999 sebanyak 900.000 unit dan ditahun-tahun selanjutnya secara bertahap mengalami kenaikan.

Tabel 4: Pasok Kumulatif Tingkat Hunian Ruang Perkantoran Dikawasan Segitiga Emas Jakarta
Tahun Pasok (Juta m2) Tingkat Hunian (%)
1995 2,12 89,6
1996 2,43 88,2
1997 2,67 86,2
1998 2,91 60,5
Sumber: PSPI dari Jurnal Pasar Modal Indonesia, 1998

Dalam laporan Econit's Economic Outlook 1999 disebutkan pula bahwa pasar subsektor perkantoran merosot tajam akibat tingginya nilai dolar karena untuk biaya rental-nya menggunakan nilai dolar (Tabel 4). Akibatnya beberapa gedung perkantoran di area utama (CBD / Central Business District) telah ditinggalkan para tenants (penyewa atau pemakai) yang memindahkan ruang usahanya ke area sekunder dengan biaya sewa yang lebih murah. Tingkat hunian diperkirakan berkurang menjadi sekitar 60 – 70 persen (Tabel 4)
Pembangunan gedung perkantoran hampir semuanya dihentikan karena dua hal yaitu: (1) biaya modal yang semakin mahal dan (2) permintaan pasar yang terus berkurang. Bank-bank yang telah membiayai proyek-proyek macet tersebut kemungkinan akan melelangnya. Beberapa investor asing akan masuk untuk mengambil alih namun mereka masih menunggu hingga harga yang ditawarkan sudah sangat murah.
Subsektor apartemen mengalami kelesuan akibat: kerusuhan Mei dan November 1998, kaburnya para ekspatriat ke negerinya masing-masing dan tingginya nilai dolar terhadap rupiah. Banyak pembeli apartemen yang tidak sanggup meneruskan pembayaran cicilannya dan nekat melakukan cut loss (ngemplang). Tingkat hunian terus menurun hingga diperkirakan hanya sekitar 50%, malah yang berada di lokasi-lokasi yang tidak menarik tingkat huniannya lebih kecil lagi. Jumlah ruang yang kosong mengalami peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun 1997, ruang yang tidak disewa hanya 245.000 meter persegi dan pada akhir tahun 1999 menjadi 735.000 meter persegi. Peningkatan ruang kosong ini merupakan dampak dari penambahan pasokan, menyusul maraknya pembangunan gedung baru. Namun akar persoalannya adalah adanya penyusutan, penutupan, serta konsolidasi perusahaan, baik lokal maupun asing akibat kondisi perekonomian, politik dan keamanan yang belum kondusif bagi iklim investasi.
Pusat perbelanjaan atau mal adalah subsektor yang paling terpukul pada tahun-tahun krisis. Penyebabnya bukan karena sektor di atas atau melemahnya daya beli masyarakat sehingga banyak outlet yang tutup, melainkan karena aksi-aksi kerusuhan di bulan Mei dan November 1998 yang menjadikan pusat perbelanjaan sebagai pusat penjarahan, penggrusakan dan pembakaran. Dari survei yang dilakukan Pusat Studi Properti Indonesia (1999) menyimpulkan tidak kurang dari 250.750 m2 atau 13,4 persen ruang pusat perbelanjaan di Jabotabek mengalami kerusakan berat dan sebagian besar belum dapat dioperasikan kembali. Di antara yang rusak itu adalah Glodok Plasa, Slipi Jaya Plasa, Jatinegara Plasa, Plasa Klender, Lippo Super Mall, Plasa Cimone Indah, Permata Cimone Mal dan Cipulir Plasa. Kendati demikian, tingkat huniannya hanya berkurang sekitar sepuluh persen dari tahun-tahun sebelumnya, yakni menjadi sekitar 80%. Pada tahun 2002, bisnis pusat perbelanjaan memperlihatkan pertumbuhan yang cukup baik dengan tingkat hunian 90 persen sampai 95 persen (Wawa, 2002).
Subsektor Kawasan Industri (KI) yang sangat tergantung dari stabilitas politik, keamanan dan ekonomi, akibat krisis dan ketidakstabilan bidang politik dan Hankam telah mengalami kemunduran. Menurut catatan sebuah konsultan properti PT. Procon Indah (1999), para investor PMA dan PMDN berkurang 50% dan 61% bahkan kegiatan kontruksi pada proyek KI di Jabotabek seluas 2.385 hektar dihentikan. Dengan melihat perusahaan-perusahaan yang masuk KI adalah industri padat modal dan padat karya seperti bidang usaha elektronika, garmen, consumer good, ban hingga peralatan berat, dengan terjadinya stagnasi akibat krisis juga berdampak dirumahkannya ratusan bahkan jutaan karyawan.
Subsektor hotel dan resort tidak banyak terjadi perubahan. Hanya uniknya untuk hotel di area utama Jakarta pada saat terjadi kerusuhan, tingkat huniannya secara temporer melojak dratis. Hal ini karena banyak orang-orang asing dan WNI keturunan menginap di sana (terutama pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998). Sementara proyek-proyek yang masih berjalan, khususnya di daerah tujuan wisata sempat tersendat. Pola pembangunnanya lebih berciri dari perpaduan hotel-resort-convention hall seperti yang dikembangkan di Jimbaran (Bali), Marina (Mataram) dan Tanjung Lesung (Banten).
Mulai tahun 2001 penjualan properti meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh rendahnya suku bunga yakni rata-rata 17 persen (2001) dan menjadi 15 persen sepanjang tahun 2002. Nilai penjualan rata-rata sebesar Rp 3,429 miliar. Namun tahun 2001, perusahaan realesat masih mengalami kerugian.

Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) terhadap Harga Saham Sekarang (Ht) pada Kondisi Bullish.
Hasil uji hipotesis dengan autoregression pada Tabel 5 menunjukkan besarnya pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) pada kondisi bullish dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,2286 yang berarti 22,86% variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan (berarti) terhadap harga saham sekarang (Ht). Sisanya sebesar 77,14% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel penelitian.
Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel harga saham kemarin (Ht-1) mempengaruhi harga saham sekarang (Ht). Hal ini dibuktikan dengan adanya serial korelasi atau autokorelasi antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Artinya pada periode 1994 – 1997, pasar modal Indonesia adalah tidak efisien. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 3 di mana harga saham cenderung turun.

Tabel 5. Pengaruh Harga Saham (Ht-1) Terhadap Harga Saham (Ht) pada Kondisi Bullish
Variabel Koefisien B p value
HSAHAM-1 0,3989 0,0003
Konstanta 591,6375 0,0494
R Squared (R2) 0,2286
Durbin-Watson 2,9234
Akaike info criterion 17,1444
Schwarz criterion 17,2180

Keterangan : Variabel dependen = Harga Saham Sekarang (Ht)
Sumber : Data Sekunder Diolah
Pada kondisi bullish (1994 – 1997) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3, harga saham pada tahun 1994 merupakan harga saham tertinggi yaitu sebesar Rp 3.173,61. Hal ini disebabkan bisnis perumahan mulai bergairah kembali pada tahun 1993. Akibatnya penjualan rumah meningkat hampir 40 persen (Simanungkalit, 2004).
Pada tahun tersebut, pembelian rumah bukan hanya untuk tempat tinggal tetapi sebagai sarana investasi. Sehingga walaupun pembangunan terlambat dan hanya membeli gambar, hal ini tidak menjadikan masalah. Yang penting ada discount harga yang menarik dan dapat memilih lokasi terbaik. Maknanya terjadi pasar spekulasi karena pembeli mengharapkan capital gain dalam waktu singkat.
Laju inflasi menjadi 9,8% (1993), 9,3% (1994) dan 8,6% (1995) dan tingkat suku bunga KPR menjadi 22,4% (1993), 19,6% (1994) dan 18,9% (1995). Adanya kecenderungan menurunnya tingkat suku bunga menyebabkan pada tahun 1994 pembangunan kawasan pemungkiman skala besar dan pembangunan apartemen dalam jumlah ribuan unit makin gencar.
Maraknya pembangunan properti mendorong terjadinya kelebihan pasokan. Kelebihan pasokan akan menyebabkan penurunan harga properti meskipun permintaan meningkat. Gejala ini direspons pasar modal dengan penurunan harga saham dari Rp 2.162,50 (1995) menjadi Rp 702,78 (1997).
Suku bunga sangat mempengaruhi pertumbuhan sektor properti (Simanungkalit, 2004 dan Shinta, 2003). Semakin rendah suku bunga menyebabkan beban bunga yang harus ditanggung konsumen untuk pembelian secara kredit semakin rendah. Dengan demikian akan berpengaruh terhadap permintaan properti.

Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) terhadap Harga Saham Sekarang (Ht) pada Kondisi Bearish.
Hasil uji hipotesis dengan autoregression pada Tabel 6 menunjukkan besarnya pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) pada kondisi bearish dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,2389 yang berarti 23,89% variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan (berarti) terhadap harga saham sekarang (Ht). Sisanya sebesar 76,11% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel penelitian.

Tabel 6. Pengaruh Harga Saham (Ht-1) Terhadap Harga Saham (Ht) pada Kondisi Bearish
Variabel Koefisien B p value
HSAHAM-1 0,4605 0,0000
Konstanta 189,2250 0,0016
R Squared (R2) 0,2389
Durbin-Watson 2,2521
Akaike info criterion 14,7631
Schwarz criterion 14,8186

Keterangan : Variabel dependen = Harga Saham Sekarang (Ht)
Sumber : Data Sekunder Diolah
Tabel 6 menunjukkan bahwa variabel harga saham kemarin (Ht-1) tidak mempengaruhi harga saham sekarang (Ht). Hal ini dibuktikan dengan adanya serial korelasi atau autokorelasi antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Artinya pada periode 1998 – 2002, pasar modal Indonesia adalah efisien dalam bentuk lemah. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 3 di mana harga saham cenderung berfluktuasi.
Pada kondisi bearish (1998 – 2002), suku bunga cenderung mengalami penurunan dari 39% (1998) menjadi 15% (2002). Pada tahun 1998 – 1999, suku bunga di Indonesia cenderung tinggi. Rata-rata SBI – 1 bulan adalah 39 persen di tahun 1998 dan 23 persen di tahun 1999. Di saat yang sama, harga properti residensial hanya mengalami kenaikan yang rendah (5 persen dan 6 persen per tahun). Turunnya suku bunga ini direspons baik oleh industri realestat yang ditunjukkan oleh kenaikan harga saham dari Rp 329,17 (1998) menjadi Rp 626,39 (1999) (Tabel 3).
Pada tahun 2000 – 2002, suku bunga SBI – 1 bulan cenderung rendah yaitu rata-rata 13 persen di tahun 2000, rata-rata 17 persen di tahun 2001 dan 15 persen sepanjang tahun 2002. Pada saat yang sama, indeks harga properti mengalami kenaikan sebesar 10 persen per tahun. Namun pasar modal tidak merespons dengan baik sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan harga saham yaitu tahun 2000 sebesar Rp 271,94, di tahun 2001 sebesar Rp 439,72 dan di tahun 2002 yaitu sebesar Rp 370,28.
Hal ini disebabkan karena selama krisis moneter, utang perusahaan di sektor properi dan realestat membengkak dan kinerja menurun. Akibatnya banyak saham properti dan realestat membuat rugi para investor sehingga pada saat ini saham properti termasuk saham yang relatif kurang likuid. Artinya bahwa sentimen pasar modal Indonesia, regional dan dunia juga sangat menentukan terhadap perkembangan harga saham properti dan realestat di bursa (Shinta, 2003).
Diskusi: Perbandingan Efisiensi Pasar Modal Pada Kondisi Bullish, Bearish dan Gabungan
Untuk menganalis informasi lebih dalam lagi akan dibandingkan ketiga kondisi tersebut dengan membandingkan data: (1) R Squared (R2), (2) Durbin-Watson test dan (3) Akaike info criterion. Data R Squared (R2) pada Tabel 2 (Kondisi Gabungan), Tabel 5 (Kondisi Bullish) dan Tabel 6 (Kondisi Bearish) masing-masing adalah 0,4118; 0,2286; dan 0,2389. Maknanya bahwa pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) pada kondisi gabungan lebih besar dibandingkan pada kondisi bullish dan bearish.
Dari data Durbin – Watson test pada kondisi gabungan, kondisi bullish dan kondisi bearish masing-masing menunjukkan 2,5236; 2,9234; dan 2,2521. Autokorelasi paling kuat terjadi pada kondisi bullish dan paling lemah terjadi pada kondis bearish. Data Akaike info criterion pada kedua kondisi, kondisi bullish, dan kondisi bearish masing-masing menunjukkan nilai sebesar 16,2921; 17,1444; dan 14,7631. Artinya bahwa model yang terbentuk lebih baik pada kondisi bearish dan model yang kurang baik terbentuk pada kondisi bearish. Pada kondisi gabungan dan bullish pasar modal tidak efisien namun pada kondisi bearish efisiensi pasar modal Indonesia dalam bentuk lemah.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Legowo dan Machfoedz (2002). Hasil penelitian Legowo dan Machfoedz (2002) menunjukkan bahwa baik pada kondisi normal maupun bullish, pasar modal di Indonesia efisien dalam bentuk lemah.
Dengan menggunakan pendekatan psychonomic yang dikembangkan oleh Jonathan Myers (Sembel, 2001), maka dapat dijelaskan masing-masing kondisi. Pada kondisi bullish, investor menjadi sangat rasional sehingga mereka lebih bergairah untuk melakukan investasi di pasar modal. Kondisi ini menarik banyak investor pemula untuk bermain di pasar modal. Bagi pemain pemula, teknik yang paling mudah untuk bermain saham adalah dengan memperhatikan trend pasar sehingga data harga saham kemarin (Ht-1) menjadi pertimbangkan meskipun kontribusinya hanya 0,2286.
Namun pada kondisi bearish, investor menjadi sangat irrasional yang mencermikan eror, bias, emosi dan panik sehingga mereka lebih memperhatikan nilai psikologis. Nilai psikologis dipengaruhi oleh dua kelompok gaya yaitu: gaya yang terkait dengan perusahaan (seperti persepsi diri perusahaan, lingkungan ekonomi, politik dan jalur komunikasi) dan gaya yang terkait langsung pada investor (seperti efek individu dan efek investor berkelompok). Sehingga data harga saham kemarin (Ht-1) kurang menjadi pertimbangan, mereka hanya mengikuti emosi sesaat. Meskipun kontribusi Ht-1 lebih baik dibandingkan pada kondisi bullish yaitu 0,2389.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis data dan pengujian hipotesis, di bawah ini disajikan kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Pasar modal Indonesia adalah efisien dalam bentuk lemah (weak form efficiency) pada kondisi bearish dan pada kondisi gabungan dan bullish pasar modal Indonesia tidak efisien. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Legowo dan Machfoedz (2002).

2. Data gabungan dari kedua kondisi memberikan kontribusi yang lebih baik untuk mengambil keputusan dibandingkan dengan analisis data berdasarkan kondisi bullish atau kondisi bearish saja.

3. Pergerakan harga saham kemarin (Ht-1) lebih menjadi acuan investor dalam berinvestasi pada kondisi bullish dibandingkan pada kondisi bearish. Hal ini terjadi karena pada kondisi bearish investor panik sehingga mereka lebih memperhatikan sentimen pasar.

DAFTAR PUSTAKA
Beaver, W.H. 1989. Financial Reporting: An Accounting Revolution, 2nd Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Cootner, P. 1974. The Random Character of Stock Market Prices. Cambridge, MA: MIT Press.
Dewi, Ike Janita. 2004. Aksi Teori Dalam Praktik Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Penerbit Amara Books.
Dyckman, T.R. Dan D. Morse. 1986. Efficient Capital Market and Accounting: A Critical Analysis, 2nd Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Fama, E.F. 1965. The Behavior of Stock Market Prices, Journal of Business 38 (January, 1965): 34 – 105.
Fama, E.F. 1970. Efficient Capital Markets: A Review of Theory and Empirical Work. Journal of Finance 25 (1970): 383 – 417.
French, Kenneth R. 1980. Stock Return and The Weekend Effect. Journal of Financial Economic 8 (1980): 55 – 70.
Gujarati, Damodar. 1982. Basic Econometric, 2nd ed. New York: McGraw Hill.
Hartono, Jogiyanto. 2005. Pasar Efisien Secara Keputusan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Husnan, Suad. 1996. Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, cetakan kedua. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Jones, C. 1998. Investment: Analysis and Management, 6th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc
Jurnal Pasar Modal Indonesia, 1998.
Kodrat, David Sukardi. 2006. Pengaruh Indikator Rasio Keuangan dan Respons Pasar Terhadap Harga Saham Di Pasar Modal Indonesia Pada Kondisi Up Stream dan Down Stream (Studi Pada Industri Properti Yang Go Publik). Jurnal Ekonomi TH. XI / 02 / 2006: 130 – 149.
Legowo, Herman dan Mas'ud Machfoedz. 2002. Efisiensi Pasar Modal Perbandingan Pada Dua Periode Yang Berbeda Dalam Pasar Modal Indonesia. Bunga Rampai Kajian Teori Keuangan. Yogyakarta: BPFE – UGM.
Machfoedz dan Suciwati. 2002. Pengaruh Risiko Nilai Tukar Rupiah Terhadap Return Saham: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufactur Yang Terdaftar Di BEJ. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (17), Oktober: 347 – 360.
Nasution, Bismar. 2001. Keterbukaan Dalam Pasar Modal. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Pindyck, Robert S. dan D. L. Rubinfeldt. 1991. Econometric Models and Economic Forecast. 3rd ed. New York: McGraw Hill, Inc.
Purba, Victor. 2000. Perkembangan dan Struktur Pasar Modal Indonesia Menuju Era AFTA 2003. JSX. Maret.
Rodoni, Achmad dan Othman Yong. 2002. Analisis Investasi dan Teori Portfolio. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Rozeff, M.S. dan W.R. Kinney, Jr. 1976. Capital Market Seasonality: The Case of Stock Returns. Journal of Financial Economic 3 (1976): 379 – 402.
Santoso, Budi. 2000. Realestate Sebuah Konsep Ilmu dan Problema Pengembang Indonesia. Jakarta: CAUS – School of Real Estate.
Sembel, Roy. 2001. Rahasia Manekin. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Simanungkalit, Panagian. 2004. Bisnis Properti Menuju Crash Lagi? Jakarta: Pusat Studi Properti.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (Editor). 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Shinta, Shierley. 2003. Saham Sektor Properti: Masihkah Tidak Menarik? Kompas, 24 Maret 2003.
Wawa, Jannes Eudes. 2002. Anomali Bisnis Properti. Kompas, 27 Desember 2002.

Senin, 25 Agustus 2008

Rangkuman artikel individu chp 2

OWNERSHIP STRUCTURE AND GOLDEN PARACHUTES: EVIDENCE OF CREDIBLE COMMITMENT OR INCENTIVE ALIGMENT?

By Kenneth Small, Jeff Smith, and H. semih Yildirin

Abstrak
Sample yang digunakan S & P 500 perusahaan, menemukan bahwa golden parachutes dihubungkan dengan kepemilikan eksternal, kurang memusatkan kepemilikan internal, dan penggabungan non-Delaware. Menemukan sedikit bantuan yang memusatkan kepemilikan eksternal menggunakan golden parachute sebagai alat yang menjanjikan. Secara umum hasil multivariate mendukung hipotesis, dan menegaskan kembali pandangan bahwa golden parachutes adalah sebuah mekanisme bahwa untuk meluruskan manajerial dan minat pemegang saham dimana terdapat sebuah pemisahan antara kepemilikan dan control.


Pendahuluan
• Pemisahan antara kepemilikan dan kontrol di perusahaan modern AS memiliki banyak studi akademis dan kepentingan umum. Mulai dengan kerja klasik Berle dan Means, The Modern Corporation and Private Property, banyak yang sudah mempertanyakan implikasi akan pemisahan kepemilikan dan control. Jensen dan Meckling (1976), hal yang penting dari masalah agency dapat menimbulkan struktur kepemilikan dalam perusahaan yang diubah dari orang-dalam kepada orang luar. Misalnya, kepentingan pimpinan dan pemegang saham akan menyimpang apabila tawaran pengambilalihan ditawarkan untuk control perusahaan.
• Kontrak golden parachute menyajikan kegunaanya, karena mereka menyediakan kompensasi jalan keluar kepada pimpinan eksekutif yang bergantung diatas perubahan didalam control perusahaan.
• Ada dua teori yang sudah dikembangkan untuk menjelaskan keberadaan kontrak golden parachutes. Pertama, menjelajahi kemungkinan bahwa golden parachute adalah sebuah alat incentive alignment yang dipergunakan oleh pemegang saham untuk menjamin posisi manajerial selama perubahaan itu dikontrol (Jensen 1988, Lambert and Larcker 1985, and Harris 1990); Kedua, menyelidiki tanggung jawab hipotesa yang dapat dipercaya (Falaschetti 2002), perkiraannya bahwa golden parachutes adalah alat pemberian isyarat yang dipakai oleh pemilik eksternal yang padat untuk tanda keengganan mereka untuk bertingkah secara oportunis terhadap atomistic pemegang saham.

Incentive Alignment
• Jika struktur kepemilikan adalah pemegang saham perseorangan yang relative tersebar mempunyai kemampuan kecil untuk menganjurkan pimpinan menyetujui pengambilalihan menawar. Akibatnya, struktur kepemilikan yang disebarkan menambah kemungkinan perlawanan manajerial yang berhasil sampai tawaran pengambialihan yang meningkat nilai pemegang saham ( Shleifer dan Vishny, 1997)
• Lambert dan Larcker (1985) mengevaluasi kemungkinan dengan menguji hasil tidak normal berdasarkan pemberitahuan dari persetujuan golden parachutes.

Credible Commitment
• Ketika struktur kepemilikan perusahaan terdiri dari terpusatnya dan kepemilikan yang tersebar, namun jika tidak adanya kehati-hatian maka kepemilikan dari terpusatnya tersebut dapat diambil-alih dari perpecahan pemegang saham.

Pengembangan Hipotesis
• Hipotesis incentive aligment menyarankan bahwa marginal efek konsentrasi pimpinan akan lebih luar biasa daripada efek tidak berarti dipusatkan di luar kepemilikan
• hipotesa credible commitment menyarankan bahwa sebab pokok dalam golden parachutes dipusatkan di luar tempat aset.
Metodelogi Penelitian
☺ Data dan Metodologi Empiris
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini, maka diambil perusahaan yang terdaftar dalam S & P 500 indeks pada 30 Juni 2002. penelitian ini mendaftar perusahaan di urutan dan penerimaan menurut abjad setiap perusahaan dan pencarian lainnya proxy pernyataan pada SEC’s Edgar online database untuk memutuskan jika perusahaan mempunyai golden parachute persesuaian dengan CEO. Penelitian ini, mengangkat persentase masing-masing external blockholders’ kemilikan dan jumlah eksternal blockholders dari Thomson Financial’s Global Disclosure. Akhirnnya, menampung variabel kontrol rata yang kukuh, yang termasuk firm’s total aset (Aset), modal expenditures (CapExp), harga pendapatan rasio (P/E), dan Standardized Industrial Code (SIC), dari COMPUSTAT database. Karena tiga di antara perusahaan asli tidak mempunyai informasi pada Edgar, sampel terakhir termasuk 247 perusahaan. Kemudian metodologi empiris dan cakram variabel mempekerjakan untuk menguji yang pusat hypotheses dengan lebih terperinci.
☺ Variable Dependent
Menggunakan variable binary untuk menunjukkan adanya penyesuaian golden parachute dengan direktur utama perusahaan.
☺ Pengukuran eksternal dan internal yang terkonsentrasi
• Outsideblock
• Allblock
• Hefindahl
• LnTotalinst
• InsideBlock
☺ Control Variables
• Delaware
• LnAssets
• LnCapExp
• Ln(P/E)
• SIC
☺Model logistic Regression

Kesimpulan
• Dalam penelitian ini, ada dua teori yang berbeda dipergunakan untuk menerangkan keberadaan golden parachutes. Pertama, meneliti kemungkinan bahwa memusatkan agen eksternal memakai golden parachutes sebagai alat untuk membatasi pengambil-alihan kekayaan oportunis. Pendorong untuk pengambil-alihan kekayaan bertambah jika eksternal kepemilikan dipusatkan, agen eksternal mempunyai dorongan untuk menggunakan ‘hand-tying’ alat untuk menambah biaya acting secara oportunis (Falaschetti, 2002); Kedua, penelitian ini menilai kemungkinan bahwa golden parachutes digunakan sebagai alat untuk mencocokan kepentingan pemegang saham dan pimpinan selama perubahan didalam control perusahaan (Jensen 1988, Lambert dan Larcker 1985, dan Harris 1990).
• Golden parachutes dapat bertindak sebagai transitional kompensasi selama perubahan ini dan harus, cateris paribus, mengurangi kecondongan perlawanan pimpinan-pimpinan sampai tawaran pengambil-alihan.
• Penelitian ini meneliti masing-masing teoti dengan menggunakan analisa struktur kepemilikan empiris perusahaan.
• Dalam penelitian ini, dapat diketahui bahwa golden parachute secara signifikan berkurang dengan penampilan yang memusatkan kepemilikan internal, sedangkan kepemilikan ekternal secara signifikan menghasilkan bertambah timbulnya persetujuan golden parchutes


Sumber :
http://web.ebscohost.com/bsi/pdf?vid=4&hid=108&sid=8073e172-63ce-4e0b-8480-5219cd64f33a%40sessionmgr8

jurnal

OWNERSHIP STRUCTURE AND GOLDEN PARACHUTES: EVIDENCE OF CREDIBLE COMMITMENT OR INCENTIVE ALIGNMENT?


By Kenneth Small, Jeff Smith, and H. Semih Yildirim


Abstract
Using a sample of S & P 500 firms, we find that golden parachutes are associated with concentrated external ownership, less concentrated internal ownership, and non-Delaware incorporation. We find little support that concentrated external owners use golden parachutes as credible commitment devices. The general multivariate results support the incentive alignment hypothesis, and reaffirm the view that golden parachutes are a mechanism used to align managerial and shareholder interests when there is a separation between ownership and control.
(JEL G32)


Introduction

The separation of ownership and control in the modern U.S. corporation has been the subject of many academic studies and much public interest. Beginning with the classic work of Berle and Means, The Modern Corporation and Private Property, many have questioned the implication of the separation of ownership and control. Jensen and Meckling (1976), highlight the agency problems that can arise when the firm’s ownership structure is shifted from insiders to outsiders. For example, the interests of management and shareholders may diverge when a takeover bid is offered for control of the firm. This problem can become perverse when management does not share in the benefit that a change in control may bring to a target firm’s shareholders. In light of this possible divergence of interest, compensation contracts that align the interest of management and shareholders enhance shareholder value. Golden parachute contracts serve this purpose because they provide exit compensation to executive management that is contingent upon a change in control of the firm.
In this work, we explore two theories that have been developed to explain the existence of golden parachute contracts. First, we explore the possibility that golden parachutes are an incentive alignment device used by shareholders to ensure managerial alignment during a change in control (Jensen 1988, Lambert and Larcker 1985, and Harris 1990). Managements of firms that become takeover targets are faced with an explicit loss of compensation. As a result, shareholders have an interest in aligning the objectives of management with those of the shareholders, and since golden parachutes constitute sizable cash-based compensation that is payable upon a change in control of the firm, they partially alleviate the salary loss in the event of a takeover. However, as internal ownership becomes more concentrated, an increasing share of the firm’s residual income accrues to insiders. This leads to an increased managerial propensity to make choices that maximize shareholder value (i.e., shareholder value becomes an increasing component of total



 Kenneth Small, Assistant Professor, Wall School of Business, Coastal Carolina University, Conway SC 29528, Kensmall@aol.com; Jeff Smith, Assistant Professor, Air Force Institute of Technology, Dayton OH 45433, Jeffrey.Smith@afit.edu; H. Semih Yildirim, Assistant Professor, York University, 218 Atkinson Building, Toronto ON Canada M3J 1P3, Yildirim@yorku.ca. Kenneth Small acknowledges support from a University of Tennessee research grant. In addition, part of this research was completed when Kenneth Small was an Assistant Professor at Loyola College. We are grateful for the comments of Rodolfo Apreda and seminar participants at the Eastern Finance Association meetings in Orlando, 2003. In addition, we thank Mark Tuttle and John Deskins for comments that have greatly improved this research. All remaining errors are our own.


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 369 managerial compensation). As a result, internal ownership concentration decreases the alignment value of golden parachutes.
Second, we investigate the credible commitment hypothesis (Falaschetti 2002), which conjectures that golden parachutes are a signaling device used by concentrated external owners to signal their reluctance to act opportunistically against the atomistic shareholders. The credible commitment hypothesis posits that golden parachutes are a result of concentrated external ownership.
We present evidence that clearly rejects the credible commitment hypothesis while supporting the incentive alignment hypothesis. Both our univariate and multivariate results indicate that concentrated external ownership is a second order effect, and that the primary determinant of golden parachutes is the internal ownership structure of the firm. The results are robust across our multivariate and univariate frameworks, and across variation in the definition of internal and external ownership concentration.
Both theories, credible commitment and incentive alignment, find their roots in the separation of ownership and control, however each theory takes a unique path in explaining the existence of golden parachutes. We discuss both paths in the next two sections.

Incentive Alignment

If a firm’s ownership structure is relatively diffuse, individual shareholders have little ability to encourage management to accept a takeover bid. As a result, a diffused ownership structure increases the probability of successful managerial resistance to takeover bids that enhance shareholder value (Shleifer and Vishny, 1997). Without exit compensation, management may choose to fight or resist a takeover bid, and this managerial resistance could lead to a depletion of valuable corporate resources. One course of action that shareholders can take to reduce the probability of managerial resistance to a change in control is by instituting managerial compensation contracts that result in payoffs to management during a change in control. Lambert and Larcker (1985) evaluate this possibility by examining the abnormal returns around the announcement of golden parachute agreements. They find that the institution of golden parachute agreements increases shareholder value as reflected by positive and significant abnormal returns accrued to the instituting firm.
Because shareholders of takeover targets enjoy positive abnormal returns that range on average between 10% to 40%, depending on type of merger and time period considered [Bradley et al. (1988), Schwert (1996), Maquieira et al. (1998)], alignment of managerial and shareholder interests is value enhancing. Under the incentive alignment framework, Narayanan and Sundaram
(1998) investigate golden parachute adoptions in the light of managerial incentives to produce poor financial performance. Narayanan and Sundaram examine operating, financial, stock price performance and corporate control activities after the adoption of the parachute payment, in an effort to gauge managerial propensity to engage in activities that weaken the firm. They find that, contrary to the predictions of incentive alignment hypothesis, golden parachutes actually improve management’s performance.

Credible Commitment

When a firm’s ownership structure consists of concentrated and diffuse owners and in the absence of safeguards, concentrated owners can expropriate wealth from the atomistic claim holders. One manner in which this inferior outcome can be overcome is through the concentrated external owners’ use of ‘hand-tying’ commitments. These commitments signal the increased cost of a concentrated owner’s opportunistic action. Shleifer and Vishny (1997) explain: “A … problem is that the large investors represent their own interests, which need not coincide with the


370


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007


interests of other investors in the firm, or with the interests of the employees and managers.” Shleifer and Vishny argue that ex-post it would be difficult for a large concentrated external owner to commit himself to not extract rents from the firm. However, Falaschetti (2002) argues that golden parachutes agreements play this role as increased incidence of these contracts can be explained by the presence of external monitors, mainly blockholders of the firm. He conjectures that because blockholders provide a monitoring service, and because they possess the ability to expropriate wealth from the firm, they must be constrained from acting opportunistically. Hence, golden parachute agreements act as hand-tying arrangements. Falaschetti states “if external owners produce monitoring services, then their capacity to produce such services must be offset by formal institutions that constrain them from acting opportunistically.” He further argues that
“To avoid this inferior equilibrium, the external agent has an incentive to constrain itself by ‘pre- committing’ to an optimal plan. Hence, whether external agents produce monitoring or budget- breaking services, credible commitments against opportunistic action are necessary to preclude team production systems from settling on inferior equilibria.” Thus, to avoid the perception of wealth expropriation, concentrated external shareholders may choose to use golden parachutes as a signal of restraint.


Hypothesis Development


The incentive alignment hypothesis posits that golden parachutes are a device used by shareholders to align managerial interests during a takeover bid. However, as managerial ownership concentration increases, so does the cost of expropriating wealth from shareholders
(Jensen 1986), because an increasing component of wealth accrues to the concentrated equity owner. Consequently, under the incentive alignment hypothesis, golden parachute incidence is a decreasing function of inside management ownership. Under this framework, concentrated external ownership increases the incidence of golden parachutes. As an external agent’s ownership becomes more concentrated, the cost of instituting a golden parachute agreement decreases. The benefit that accrues to the external agent from the acceptance of a takeover bid increases. These external forces moderately increase the incidence of golden parachutes. Hence, the incentive alignment hypothesis conjectures that managerial ownership has the primary influence on the incidence of golden parachutes, while concentrated external ownership is conjectured to have a weaker second order effect.
According to Falaschetti (2002), external blockholders use golden parachutes to constrain themselves from engaging in opportunistic behavior. External blockholder’s ability to expropriate wealth from the firm’s atomistic equity holders increases as the blockholder’s ownership increases. The opportunity for expropriation increases the value of “hand tying” contracts such as golden parachutes, and golden parachute incidence should be increasing in external ownership concentration. On the other hand, golden parachute occurrence is partially mitigated by concentrated managerial ownership. Concentrated managerial ownership decreases the concentrated external owners’ ability to opportunistically act in their own self-interest. The credible commitment hypothesis posits the concentrated external ownership structure as the primary determinant of golden parachutes, while managerial ownership is assumed to exhibit a weaker second order effect.
Both models suggest the same signs on the ownership concentration coefficients, but each model produces a distinctly different prediction regarding the magnitude of each factor’s effect on the incidence of golden parachutes. The incentive alignment hypothesis suggests that the marginal effect of management concentration will be greater than the marginal effect of concentrated outside ownership. While the credible commitment hypotheses suggests that the primary cause of golden parachutes are concentrated outside equity holders. Thus, concentrated outside ownership


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 371 should produce the strongest marginal effect. In the next section we develop the logistic regression model that is used to examine the two hypotheses.

Data and Empirical Methodology:


To test the central hypotheses, we use the firms included in the S & P 500 index on June 30,
2002. We list the firms in alphabetical order and take every other firm and search its proxy statement on the SEC’s Edgar online database to determine if the firm has a golden parachute agreement with the CEO. In addition, we collect all firm level internal ownership information and state of incorporation from the proxy statements. We collect the percentage of each external blockholders’ ownership and the number of external blockholders from Thomson Financial’s Global Disclosure. Finally, we collect firm level control variables, which include the firm’s total assets (Assets), capital expenditures (CapExp), price earnings ratio (P/E), and the Standardized Industrial Code (SIC), from the COMPUSTAT database. Because three of the original firms did not have information on Edgar, the final sample includes 247 firms. In the next section, we discuss the empirical methodology and discuss variables employed to test the central hypotheses in more detail.


Dependent Variable

Under the Securities Act of 1934 corporations are required to disclose any “golden parachute” agreement with their senior executives. We employ a binary variable to indicate the presence of a golden parachute agreement with the firm’s chief executive officer. This variable takes the value of unity if the firm’s proxy statement includes a golden parachute arrangement with the CEO, and zero otherwise. We use the operational definition of Wade et al. (1990), where golden parachutes are defined as contractual agreements that provide payment to the CEO upon a change of control of the firm. We count any monetary payments that are associated with a change in control of the firm, which includes voluntary and involuntary changes of control. We do not include accelerated options vesting because this represents a benefit often granted to all employees and not solely senior management.

External and Internal Ownership Concentration Measures


Outsideblock
Outsideblock proxies the external ownership concentration of the firm, and is employed in Models 1, 1.1, and 1.2. Outsideblock is a binary variable that takes the value of one when the firm has at least one external 5% owner in Models 1 and 1.1 and takes the value of one when there is at least one 10% external owner in Model 1.2, and zero otherwise. Under the incentive alignment hypothesis, the parameter estimate on Outsideblock should be positive and significant. The same result is expected under the credible commitment hypothesis. However, the incentive alignment hypothesis holds external ownership concentration as a secondary effect, while the incentive alignment hypothesis posits external ownership concentration as the raison d'être of golden parachutes.

Allblock
Allblock represents the total number of external 5% owners of the firm in Models 2 and
2.1and the number of 10% owners in Model 2.2, and is used to measure the effect that the number of external blockholders have on a firm’s inclination to institute a golden parachute. If concentrated ownership is associated with golden parachutes, this variable should capture the aggregate influence. A positive coefficient estimate is expected under the credible commitment


372


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007


hypothesis. The incentive alignment hypothesis also posits a positive coefficient estimate on Allblock since an increase in the number of blockholder would lead to an increased cost of takeover bid rejection. As the number of blockholders increases, the individual cost that each concentrated outside holder shares in instituting a golden parachute decreases [i.e., free-rider costs decrease (Shleifer and Vishny 1997)], and the cost that each would share in management’s non- acceptance of a takeover bid increases. It is possible that the benefit of external shareholder concentration increases or decreases as the number or blockholders increases. To control for any second order effects, we include the number of blockholders squared, Allblock2. Neither hypothesis conjectures a sign for the coefficient estimate on Allblock2.

Herfindahl
Herfindahl is the Herfindahl-Hirschman Index measure of concentration among the ownership of the 5 largest external owners of the firm. Herfindahl is defined as:


5
H e r f i n d a h l ∑ S i


, (1)


= ( * 1 0 0 ) 2
i  1

where Si represents the percentage owned by shareholder i. Herfindahl is included to control for the effects that concentration among the external owners may have on the incidence of golden parachute agreements with a firm’s CEO. We take the natural log of the Herfindahl Index to obtain LnHerfindahl, which we use in the final estimation. The credible commitment hypothesis suggests a positive parameter estimate on LnHerfindahl. As individual external agents’ ownership becomes more concentrated relative to other external concentrated owners, so does their ability to engage in unbridled wealth expropriation. For example, higher Herfindahl scores indicate higher ownership concentration and the greater the ability of the external agent to engage in wealth expropriation, the greater the benefit associated with the use of “hand-tying” contracts. On the other hand, the incentive alignment hypothesis predicts a negative and significant coefficient estimate on LnHerfindahl, because the concentration among five largest external owners should decrease the value associated with the institution of golden parachutes. As power is concentrated in a single large external blockholder, the ability of this blockholder to influence managerial decisions and exert influence over the board of director’s decisions increases.

LnTotalinst
LnTotalinst represents the natural log of the total number of financial institutions that hold the firm’s equity. If financial institutions are more likely to represent concentrated ownership, this variable will measure the direct impact this ownership exerts on the likelihood that a firm will institute a golden parachute agreement. Again both hypotheses suggest the same sign on the parameter estimate. However, if the effect that concentrated ownership exerts on the firm dissipates after the 5% ownership level is surpassed, it is unlikely that the number of institutions will affect that probability of a firm instituting a golden parachute agreement.


InsideBlock
InsideBlock measures the concentration of inside ownership among the firms in our sample. This binary variable takes the value of one when the firm’s executive management own 5% or more of the firm’s outstanding equity in Models 1, and 2, and takes the value of one when the firm’s executive management own owns 10% or more in Models 1.1, 1.2, 2.1 and 2.2, and zero otherwise. The incentive alignment hypothesis predicts a negative and significant coefficient estimate on InsideBlock. Under the incentive alignment hypothesis the primary theoretical reason for the existence of golden parachute agreements is decreased levels of managerial alignment. Under the credible commitment hypothesis, increased managerial ownership would increase


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 373

management’s ability to restrain external agent’s wealth expropriation. As explained in section
2.1, the marginal effect of InsideBlock relative to that of external ownership concentration, is projected to be lower under the credible commitment hypothesis. The incentive alignment hypothesis suggests inside ownership will have a larger marginal effect, while external ownership concentration will have a lower marginal effect.


Control Variables

We employ a binary variable, Delaware, in the specification to capture legal differences that exist between anti-takeover measures in Delaware and the other states. Subramanian (2001) explains that U.S. corporations are governed by their state of incorporation, and this governance is irrespective of their state of headquarters or where they conduct their business. More than 50% of the publicly traded firms in the United States are incorporated in Delaware and 58% of Fortune
500 firms are incorporated in that state (Delaware Division of Corporations, 2003) and in this sample 57% are incorporated in Delaware. Delaware has instituted legislation that makes hostile takeovers more difficult. Delaware’s anti-takeover statutes lend target firms more leeway in resisting takeover attempts. This protection has been studied by Daines (2001), who provides evidence that firms who are incorporated in Delaware have higher Tobin’s Q than firms who are not. In addition, Small et al. (2007) find that state level governance protections may serve as substitutes for firm level governance provisions.
The variable Delaware takes the value of one if the firm is incorporated in Delaware and zero otherwise. If the incentive hypothesis is correct the coefficient estimate on Delaware should be negative and significant. That is, if firms incorporated in Delaware enjoy more protection from hostile takeover bids, the value of aligning the interest of management and shareholders during a takeover attempt decreases, and consequently, the probability of their occurrence should decrease. The coefficient estimate on Delaware should not be significant if golden parachutes are used as a device to constrain blockholders from expropriating wealth from minority shareholders. Delaware’s antitakeover statutes should not affect the ability of blockholders to extract wealth.
The natural log of the firm’s capital expenditures, LnCapExp, is included in the estimation to account for differences in the valuation of compensation schemes among firms with large capital outlays (Knoeber 1986). Firms with large capital outlays, particularly outlays that have a lag between investment and fruition, will view the use of golden parachutes as a useful binding tool.
The natural log of the book value of the firm’s assets, LnAssets, is included to capture the impact that variations in firm size may have on the incidence of a golden parachute agreements
(Schwartz 1982). We include seven vectors of binary variables in the regression specification to capture the variability in industry tendencies to institute golden parachutes. To proxy for industry effects we assign a binary variable corresponding to the first digit of the standardized industrial code (SIC), for each firm in the sample. In addition, we include the natural log of the price- earnings ratio, Ln(P/E), of each firm to control for the effect that market valuation might have on the incidences of golden parachutes. Schwartz (1982) argues that firms with larger P/E ratios are less likely to become takeover targets. This variable is constructed by averaging the yearly price- earnings ratio of the firm for the previous ten years. If the firm did not have data for the full 10 years, we use the available length of data in the COMPUSTAT database to compute this variable. Table I includes a summary of the variables used in the analysis.


374













JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007

Table 1: Variable Descriptions


Variable Definition

Dependent
Variable
Parachute Parachute takes the value of one when the firm has a golden parachute agreement with the CEO,
and zero otherwise


Ownership
Variables
InsideBlock InsideBlock is a binary variable that takes the value
of one when the firm’s insiders own more than 5% (10%)
of the firm’s outstanding equity
AllBlock AllBlock represents the total number of 5% (10%)
external blockholders
AllBlock2 AllBlock2 represents the total number of 5% (10%)
external blockholders squared
OutsideBlock OutsideBlock is a binary variable that takes the value of one when there is the presence of at least one external 5% (10%) blockholder
LnHerfindahl LnHerfindahl is natural log of the Herfindahl measure
of concentration among the largest five external shareholders
LnTotalInst LnTotalinst represents the natural log of the total number of institutional owners of the firm’s equity

Control
Variables
Delaware Delaware takes the value of one when the firm is incorporated in Delaware
LnAssets LnAssets is natural log of the book value of the firm’s assets measured in millions
LnCapExp LnCapExp measures the natural log of the capital expenditures of the firm measured in millions
Ln(P/E) Ln(P/E) is natural log of the average price earnings ratio of the firm for the preceding 10 years
SIC SIC is a vector of binary variables that capture industry effects

Logistic Regression Model

Our logistic model is similar to the model employed in Falaschetti (2002). We specify the logistic regression model as:



p r o b ( P a r a c h u t e 1 )


e I



 , (2)

   
1  e I



w h e r e ,


 


I   0   1 L n H e r f i n d a h li   2 L n T o t a l I n s t i   3 D e l a w a r e i   4 L n A s s e t s i . (3)
n n  7

  5 L n C a p E x p i   6 L n ( P / E ) i  ∑  j X
j  7

 ∑
x  n  1

 x S I C i  v i



JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 375


The dependent variable Parachute takes the value of one when the firm has a golden parachute agreement with the CEO, and zero otherwise. LnHerfindahl is the natural log of the Herfindahl Index measure of concentration among the largest 5 external shareholders, LnTotalInst is the natural log of the total number of institutional owners of the firm’s equity, Delaware is a binary variable that takes the value of one when the firm is incorporated in Delaware, LnAssets is the natural log of the book value of the firm’s assets, LnCapExp is the natural log of the firm’s capital expenditures of the firm, Ln(P/E) is the natural log of the firm’s P/E ratio averaged over the previous ten years, and X is a vector of ownership concentration proxies. X includes the following variables: InsideBlock is a binary variable that takes the value of one when the firm’s insiders own
5% of more of the firm’s outstanding equity in Models 1 and 2, and when the firm’s insiders own
10% or more of the firm’s outstanding equity in Models 1.1, 1.2, 2.1 and 2.2, AllBlock represents the total number of 5% external blockholders in Models 2 and 2.1 and the total number of 10% external blockholders in model 2.2, AllBlock2 represents the total number of external blockholders squared, OutsideBlock is a binary variable that takes the value of one when there is the presence of at least one external 5% blockholder in Model 1, 1.1, and one when there is the presence of at least one external 10% blockholder in Model 1.2. SIC is a vector of binary variables that capture industry effects. For brevity, the SIC coefficient estimates are not included in Tables IV and V. We report White (1980) heteroskedasticity consistent standard errors.


Table 2: Descriptive Statistics for Regression Variables

Variable Mean Std Dev Minimum Maximum
Parachute .724 .447 0 1

InsideBlock
(5% Level)
InsideBlock
(10% Level)
OutsideBlock
(5% Level)
OutsideBlock
(10% Level)
AllBlock
(5% Level)
AllBlock2
(5% Level)
AllBlock
(10% Level)
AllBlock2
(10% Level)

.303 .460 0 1

.182 .386 0 1

.720 .449 0 1

.255 .436 0 1

1.58 1.28 0 7

4.15 5.22 0 49

.376 .686 0 5

.611 1.97 0 25


Herfindahl 203 322 7.92 2,394
TotalInst 434 223 69 1,334
Delaware .570 .498 0 1
P/E 30 50 0.09 448
Assets $28,886 $69,105 $745 $495,023
CapExp $901 $1,832 0 $15,520


376




JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007

Univariate Analysis


Table 2 contains the univariate characteristics of our sample. The average firm in our sample has approximately $30 billion in assets and spends $900 million annually on capital expenditures. In one out of every five firms, insiders own at least 5% of the common stock. While almost 3 of 4 firms have one external investor that owns at least 5% of the company, on average, there are 1.6 external owners of a 5% block of company stock, with one company that has over 35% of its common stock owned by 7 external blockholders. 57% of the firms are incorporated in Delaware and 72% of the firms in our sample have a golden parachute agreement with their CEOs. The average firm has 434 institutional investors, with the minimum number of institutional investors being 69 and 1 firm with over 1,300. The average Herfindahl Index measure indicates an ownership structure that is relatively diffuse; however the index measure alone does not distinguish between internal or external ownership concentration. The average sample firm is large and has a concentrated ownership structure, has at least one external owner that controls 5% of the company, has a large number of institutional investors (434), is incorporated in Delaware and has a golden parachute agreement in place.
The incentive alignment hypothesis predicts a positive correlation between an insider’s ownership and their willingness to accept a takeover bid. When a managerial ownership block is present, the incidence of golden parachutes will be low, and in the absence of a managerial block, the incidence of golden parachutes will be high. Also, under the incentive alignment hypothesis, the incidence of golden parachutes is moderately increasing in the concentration of external ownership. As an external agent’s ownership becomes more concentrated, so does the cost of management’s rejection of value increasing takeover bids. In this case, external blockholders would want to “align” the interests of management. This should result in an increased incidence of golden parachutes in firms with concentrated outside ownership.
The credible commitment hypothesis implies that as an external agent’s ownership concentration increases, so does the occurrence of golden parachutes. As external agents become better able to expropriate atomistic shareholder wealth, so should the incidence of constraining devices such as golden parachutes. However, the credible commitment hypothesis also predicts that the occurrence of golden parachutes is decreasing in the concentration of management ownership because management able to mitigate external shareholders’ ability to expropriate wealth.
One method that we employ to distinguish between the two theories is to interpret the economic significance of variables that capture the internal and external ownership structure of the firm. The incentive alignment hypothesis places more weight on managerial ownership concentration (i.e., the primary objective of golden parachutes is to align the interest of management and shareholders in the face of a take over bid). The credible commitment hypothesis holds that the primary explanation for the existence of golden parachutes is external ownership concentration. In addition, as we previously discussed, the concentration of the external owners can be used to differentiate the two hypotheses. We discuss the results of our statistical analysis below.
Panel A of Table 3 reports the univariate characteristics of firms across the four possible combinations of block ownership when block ownership is defined as the presence of at least one entity that owns more than 5% of the firm’s equity. Panel B of Table 3 contains the results when block ownership is characterized as ownership at the 10% level. The four quadrants contain measures of the percentage of firms that have golden parachute agreements with their CEOs across each of the four specified ownership characteristics, high and low managerial ownership concentration and high and low outside ownership concentration.


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 377

Table 3: Univariate Golden Parachute Analysis


Panel A.
Mean of Golden Parachute
(Block defined as ownership >5%)



Insider Block No Inside Block Difference


Outside Block .465 .899 .434***
(.060)
No Outside Block .437 .735 .298**
(.131)

Difference .028
(.142)

.164*
(.105)


Panel B.
Mean of Golden Parachute
(Block defined as ownership >10%)




Insider Block No Inside Block Difference


Outside Block .357 .857 .500***
(.117)
No Outside Block .333 .803 .470***
(.082)

Difference .024
(.157)

.054
(.063)


Notes: Standard errors are reported in parentheses. *** Denotes significance at the 1% level; ** Denotes significance at the 5% level and * Denotes significance at the 10% level.


As seen in Panel A, when managerial ownership concentration is present, the incidence of golden parachutes decreases from 89.9% to 46.5% in firms that have external ownership concentration, and from 73.5% to 43.7% in firms that do not have external ownership concentration. That is to say, the presence of an inside blockholder almost halves the incidence of golden parachutes, irrespective of the presence of an outside ownership block. When external ownership concentration is combined with insider ownership, as opposed to insider ownership without an external block, the occurrence of golden parachutes modestly increases 2.8%, from
43.7% to 46.5%. More telling is the fact that 74% of the firms with no external or internal block present have golden parachutes, which only increases by 16.3% for the firms that have external ownership concentration when no managerial ownership concentration is present. The inferences that can be drawn from the univariate analysis are unchanged when block ownership is redefined as a 10% ownership level. These results are presented in Panel B of Table 3. When we examine block ownership at the 10% level, the analysis again indicates that the primary determinant of golden parachute occurrence is the absence of managerial ownership concentration and not the presence of external ownership concentration.
The univariate results overwhelmingly support the incentive alignment hypothesis, because the presence of an inside blockholder decreases the incidence of golden parachutes on the order of
50%, when considering block ownership at 10% level, and at least 29% when considering block ownership at 5% level. Likewise, there is little univariate evidence to support the credible commitment hypothesis, or more specifically, that external block ownership is the primary determinant of golden parachute occurrence. Because we are unable to control for the mitigating factors in the univariate analysis, we also estimate a multivariate specification and we discuss the results of that analysis below.


378




JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007

Multivariate Analysis


We estimate two primary multivariate specifications, each with three variations, to distinguish between the incentive alignment hypothesis and the credible commitment hypothesis. In Models
1, 1.1, and 1.2, we estimate the effect of external ownership concentration using the binary variable Outsideblock. In Models 2, 2.1, and 2.2, we use the variable Allblock and Allblock2 to capture the first and the second order effects that the number of external blockholders has on the incidence of golden parachute agreements. In all specifications we use the binary variable Insideblock to capture insider ownership concentration.
We estimate three variations of each distinct specification by perturbing the ownership concentration variables Insideblock, Outsideblock, and Allblock. In Models 1 and 2, Insideblock measures the insider ownership concentration at the 5% or greater level, and at the 10% or greater level in Models 1.1, 1.2, 2.1, and 2.2. Likewise, Outsideblock measures the ownership concentration at the 5% or greater level in Models 1 and 1.1, and at the 10% ownership level in Model 1.2. Finally, Allblock represents the number of 5% or greater external owners in Models 2 and 2.1, and the number of 10% owners in Model 2.2. The parameter estimates from the multivariate logistic regression specifications are included in Tables 4 and 5, and the marginal effects of the ownership concentration variables are reported in Table 6.


Table 4: Logistic Regression Using Outside Block


Variable Base Model Model 1
Inside  5% Outside  5%


Model 1.1
Inside  10% Outside  5%


Model 1.2
Inside  10% Outside  10%

C .995
(1.10)

4.403
(3.91)

2.061
(3.97)

2.185
(4.19)

InsideBlock -2.124***
(.369)
OutsideBlock .980*
(.571)
lnHerfindahl -.125
(.287)
lnTotalInst -.287
(.608)

-2.271***
(.444)
.633
(.535)
.001
(.292)
-.136
(.609)

-2.295***
(.436)
.191
(.563)
.113
(.319)
-.219
(.616)

Delaware -.679**
(.332)
LnAssets .003
(.029)
LnCapExp -.062
(.108)
Ln(P/E) -.009
(.119)

-.641*
(.375)
-.005
(.030)
-.048
(.116)
.042
(.151)

-.727**
(.359)
.009
(.003)
-.066
(.117)
-.019
(.144)

-.690*
(.365)
.009
(.034)
-.091
(.118)
-.002
(.146)

Log likelihood -132 -113 -114 -141
LR statistic 17.53 56.77 54.24 52.55
Akaike Criterion 1.18 1.05 1.06 1.07

McFadden
R-squared

0.062 0.200 0.191 0.185


H-L Statistic 7.79 5.07 10.26 10.42

Notes: Standard errors are reported in parentheses. *** Denotes significance at the 1% level; ** Denotes significance at the 5% level and * Denotes significance at the 10% level.


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 379

The managerial ownership concentration is expected to decrease the occurrence of golden parachute arrangements under both hypotheses, but the magnitude of the expected decrease differs between the two theories. The incentive alignment hypothesis predicts a larger change in golden parachute occurrence given an increase in management ownership. Under the credible commitment framework, concentrated managerial ownership exerts a constraining force on external blockholders, and this force results in a lower occurrence of golden parachutes. However, under the credible commitment framework internal ownership concentration is a second order effect. As can be seen in Table 4, the coefficient estimate on Insideblock is negative and significant at the 1% level in all specifications. The marginal effect of Insideblock, as presented in Table 6, ranges from -.313 in Model 2 to -.341 in Model 1.1. In all specifications the marginal effect of Insideblock is larger than the marginal effect of the external ownership concentration variables. Both the significance level and the marginal effect of the coefficient support the incentive alignment hypothesis.
External ownership concentration is hypothesized to have a minor impact on the incidence of golden parachutes under the incentive alignment hypothesis, while under the credible commitment hypothesis the marginal effects of the external ownership variables are expected to be the primary contributor to the occurrence of golden parachutes. In Model 1 the coefficient estimate of OutsideBlock is significant at the 10% level, but the coefficient estimates on OutsideBlock in Models 1.1 and 1.2 are insignificant. Even when OutsideBlock is specified at the 10% or greater external ownership, the coefficient estimate on the variables remains insignificant. Under the credible commitment hypothesis, as external ownership increases, the “hand-tying” benefits of the golden parachutes also increase. Thus, the non-significant parameter estimate on the OutsideBlock, when it is specified at the 10% level, suggests that golden parachute occurrence is not a product of credible commitment. In addition, the marginal effects of the Outsideblock range from .146 in Model 1 to .028 in Model 1.2. At best the external ownership concentration has half the impact of internal ownership concentration.
We proxy for external ownership concentration by using the number of external blockholders, Allblock, in Models 2, 2.1, and 2.2. The coefficient estimate on this variable is negative and significant when we specify Allblock at the 5% external ownership level, but when we specify it at the 10% ownership level the coefficient estimate is no longer significant at the 10% significance level. In addition, the marginal effects range from -.197 in Model 2 to .01 in Model 2.2. Again, the coefficient estimates and marginal effects on Allblock support the incentive alignment hypothesis. Firms incorporated in Delaware benefit from the protection of anti-takeover statutes, and the existence of these statutes decreases the probability of a firm facing a takeover bid. In all model specifications contained in Tables 4 and 5, the coefficient estimates on Delaware are negative and significant. If golden parachutes are a result of incentive alignment, their occurrence should be a decreasing function of Delaware incorporation. As the probability of a takeover decreases, so does the benefit of managerial/shareholder alignment in the face of a takeover bid. If golden parachutes are a result of credible commitment, Delaware’s antitakeover statutes should not affect the ability or willingness of the firm’s external blockholders to extract wealth from the atomistic shareholders. If the credible commitment hypothesis is correct, the coefficient estimate on Delaware should not be statistically significant. On the other hand, if the incentive alignment hypothesis is correct, the parameter estimate on Delaware should be negative and significant. This result is inconsistent with the credible commitment hypothesis, and the negative coefficient
estimates provide evidence for the incentive alignment hypothesis.


380




JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007

Table 5: Logistic Regression Using AllBlock


Variable Base
Model

C .995
(1.10)


Model 2
Inside  5% Allblock  5%
5.451
(4.04)


Model 2.1
Inside  10% Allblock  5%
2.722
(4.06)


Model 2.2
Inside  10% Allblock  10%
1.221
(4.45)

InsideBlock -2.146***
(.373)
AllBlock 1.35***
(.464)
AllBlock2 -.232***
(.086)
lnHerfindahl -.401
(.346)
lnTotalInst -.298
(.616)

-2.241***
(.454)
1.02**
(.433)
-.183**
(.082)
-.211
(.358)
-.116
(.619)

-2.221***
(.440)
-.067
(.604)
-.083
(.136)
.313
(.398)
-.209
(.620)

Delaware -.679**
(.332)
LnAssets .003
(.029)
LnCapExp -.062
(.108)
Ln(P/E) -.009
(.119)

-.730*
(.397)
-.008
(.030)
-.031
(.118)
.096
(.153)

-.806*
(.396)
.007
(.033)
-.049
(.117)
.020
(.147)

-.730**
(.371)
.010
(.034)
-.085
(.121)
.001
(.147)

Log likelihood -132 -110 -112 -141
LR statistic 17.53 61.50 57.65 53.3
Akaike Criterion 1.18 1.04 1.06 1.07
McFadden R-squared .062 .217 .203 .188
H-L Statistic 7.79 8.90 14.88 5.25

Notes: Standard errors are reported in parentheses. *** Denotes significance at the 1% level; ** Denotes significance at the 5% level and * Denotes significance at the 10% level.



Table 6: Marginal Effects from the Logistic Regressions




Panel A




Marginal Effects


Model 1 Model 1.1 Model 1.2

InsideBlock -.318 -.341 -.347
OutsideBlock .146 .095 .028



Panel B





Model 2 Model 2.1 Model 2.2

InsideBlock -.313 -.332 -.334
AllBlock .197 .152 .010
AllBlock2 -.033 -.027 -.012


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007 381

In all specifications, the coefficient estimate on LnHerfindahl and LnTotlaInst are insignificant and they provide no support for either hypothesis. However, the coefficient estimates on the internal and external ownership concentration proxies lend credence to the incentive alignment hypothesis. In both the univariate and the multivariate specifications, inside ownership is the dominant contributor to the absence of golden parachutes. The presence of an external blockholder is a second order contributor to the presence of golden parachutes.
Given the results of our analysis, more research should be conducted on the relationship between the granting of managerial entrenching devices and firm level corporate governance structures. For example Li, et al. (2006) show that board structure may influence information asymmetry between the firm shareholders and management. In the context of this study, more external board members may act to mitigate managerial expropriation of shareholder wealth, which would have a direct impact on managerial propensity to employ creditable commitment
(bonding) techniques.
In addition, regulatory change may influence the manner in which these governance provisions are granted. Regulations like Sarbanes Oxley (SOX) may directly impact the ability of management to expropriate shareholder wealth (see Zhu and Small (2007) and Small et al. (2007) for a discussion of SOX), which would also decrease management’s willingness to employ creditable commitment (bonding) devices. It is also possible that management use other governance mechanisms as creditable commitment devices. For example, it may be possible that management prefer to use poison pills instead of golden parachutes. These relationships provide a wealth of research opportunities.


Conclusion

In this study we evaluate two distinctly different theories that have been used to explain the existence of golden parachute agreements. First, we examine the possibility that concentrated external agents use golden parachutes as a device to curtail opportunistic wealth expropriation. If the incentive for wealth expropriation is increased when external ownership is concentrated, external agents have the incentive to use ‘hand-tying’ devices to increase the cost of acting opportunistically (Falaschetti, 2002). Second, we evaluate the possibility that golden parachutes are used as a device to align the interests of shareholders and management during a change in control of the firm (Jensen 1988, Lambert and Larcker 1985, and Harris 1990). The incentive for managerial resistance exists when management faces the termination of their compensation contracts upon a change in control of the firm. Golden parachutes could act as transitional compensation during this change and would, ceteris paribus, decrease the propensity of management’s resistance to a take over bid.
We examine each theory through an empirical analysis of the ownership structure of the firm, and we place special emphasis on the economic significance of internal versus external ownership concentration. We present strong empirical support for the incentive alignment hypothesis. We find that the incidence of golden parachutes significantly decreases with the presence of concentrated internal ownership, while there is little evidence that external ownership structure significantly produces increased incidence of golden parachute agreements.


References
Berle, A. and G. Means. 1932. The Modern Corporation and Private Property, Macmillan, New
York.
Born, J., E. Trahan, and H. Faria. 1993. “Golden Parachutes- Incentive Aligners, Management
Entrenchers, or Takeover Bid Signals.” Journal of Financial Research 62: 299-308.


382


JOURNAL OF ECONOMICS AND FINANCE • Volume 31 • Number 3 • Fall 2007


Bradley, M., M. Desai, and E.H. Kim. 1988. “Synergistic Gains from Corporate Acquisitions and their Division Between the Stockholders of Target and Acquiring Firms.” Journal of Financial Economics 21: 3-40.
Daines, R. 2001. “Does Delaware Law Improve Firm Value?” Journal of Financial Economics
62: 525-558.
Delaware Division of Corporations, 2003, http://www.state.de.us/corp/index.htm.
Falaschetti, D. 2002. “Golden Parachutes: Credible Commitments or Evidence of Shirking?”
Journal of Corporate Finance 8: 159-178.
Green, W. 2002. Econometric Analysis, Prentice Hall, New York.
Harris, E. 1990. “Antitakeover Measures, Golden Parachutes, and Target Firm Shareholder
Welfare.” Rand Journal of Economics 21: 614–625.
Jensen M. 1986. “Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers.”
American Economic Review 76: 323-9.
Jensen, M. 1988. “Takeovers: Their Causes and Consequences.” Journal of Economic
Perspectives 2: 21–48.
Jensen, M. and W. Meckling. 1976. “Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and
Ownership Structure.” Journal of Financial Economics 3: 305-360.
Knoeber, C. 1986. “Golden Parachutes, Shark Repellents, and Hostile Takeovers.” American
Economic Review 76: 155–167.
Lambert, R. and D. Larcker. 1985. “Golden Parachutes, Executive Decision Making, and
Shareholder Wealth.” Journal of Accounting and Economics 7: 179-204.
Lefanowicz, C., J. Robinson and R. Smith. 2000. “Golden Parachutes and Managerial Incentives in Corporate Acquisitions: Evidence from the 1980s and 1990s.” Journal of Corporate Finance 6: 215-239.
Li, J., S. Flaherty, and K. Small. 2006. “The Impact of Board Size on Information Asymmetry: A Capital Markets Perspective.” Journal of Corporate Ownership and Control 4, 248-256.
Maquieira, C., W. Megginson, and L. Nail. 1998. “Wealth Creation Versus Wealth Redistribution in pure Stock-for-Stock Mergers.” Journal of Financial Economics 48: 3-33.
Narayanan, M., and A. Sundaram. 1998. “A Safe Landing? Golden Parachutes and Corporate
Behavior.” University of Michigan Business School Working Paper.
Schwartz, S. 1982. “Factors Affecting the Probability of Being Acquired: Evidence for the United
States.” Economic Journal 92: 391-398.
Schwert, G.W. 2000. “Hostility in Takeovers: In the Eyes of the Beholder?” Journal of Finance
55: 2599-2640.
Shleifer, A., and R. Vishny. 1997. “A Survey of Corporate Governance.” Journal of Finance 52:
737-783.
Small, K., O. Ionici and H. Zhu. 2007. “Size Does Matter: An Examination of the Economic
Impact of Sarbanes-Oxley.” Review of Business 27: 47-55.
Small, K., S. Kwag and J. Li. 2007. “Do Shareholder Rights Influence Managerial Propensity to
Engage in Earnings Management?” Loyola College Working Paper.
Subramanian, G. 2001. “The Influence of Antitakeover Statutes on Incorporation choice: Evidence on the “Race” Debate and Antitakeover Overreaching.” Harvard University Working Paper. Wade, J., C. O’Reilly and I. Chandratat. 1990. “Golden Parachutes: CEOs and the Exercise of
Social Influence.” Administrative Science Quarterly 35: 587-603.
Walking, R., and M. Long. 1984. “Agency Theory, Managerial Welfare, and Takeover Bid
Resistance.” Rand Journal of Economics 15: 54-68.
White, H. 1980. “A Heteroskedasticity-Consistent Covariance Matrix Estimator and a Direct Test for Heteroskedasticity.” Econometrica 48: 817-838.
Zhu, H. and K. Small. 2007. “Has Sarbanes-Oxley Led to a Chilling in the U.S. Cross-listing
Market?, CPA Journal.” March Issue, 32-37.