Senin, 01 September 2008

jurnal (chp 3)

1 EFISIENSI PASAR MODAL PADA SAAT BULLISH DAN BEARISH DI PASAR MODAL INDONESIA
David Sukardi Kodrat
Program Studi International Business Management Fakultas Ekonomi Universitas Ciputra
email: david.kodrat@ciputra.ac.id
ABSTRACT
Efficiency Market Hypothesis shows three grades in efficient capital market. They are: (1) weak – form efficiency, (2) semi – strong form efficiency and (3) strong – form efficiency. The weak – form efficiency if share prices fully reflect the information available by all prior price movements.
This research has propose to know whether efficiency Indonesian Capital Market is weak form efficiency both of two conditions, bullish and bearish condition. This means if someone trades stock by using historical information, it will not earn abnormal return.
This research uses real estate industries listed on Jakarta Stock Exchange as a sample. Sample selection is performed based on purposive sampling method with object to gain sample according to the research aim. Based on those criteria, there are 18 companies, which have been fulfilling the conditions needed, starting from 1994 until 2002. The classification of condition on bullish and bearish to used stock pricing indexes of property and real estate which calculated by arithmatic mean method.
The result show: (1) Indonesian Capital Market is weak form efficiency both of two conditions, bullish and bearish condition, (2) joint data for two conditions show better decision making than bullish or bearish condition and (3) prior price movements (Ht-1) is better applied to invest on bullish conditions than bearish condition. In bearish condition, investors will be irrational reflecting errors, biases, emotions and panics. So they will pay attention psychological value.
Key Words: Efficiency Market Hypothesis, bullish, bearish

PENDAHULUAN
Perkembangan pasar modal di Indonesia diawali sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia dengan nama Vereniging Voor de Effekteenhundel. Tujuannya untuk menghimpun dana guna menunjang ekspansi usaha perkebunan milik Kolonial Belanda (Purba, 2000). Meletusnya perang dunia pertama membuat kegiatan pasar modal berhenti.
Sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, pada 1 September 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 13 tentang bursa yang kemudian ditetapkan sebagai UU Bursa No. 15 tahun 1952. Sejak dimulai pemerintahan Orde Baru, pemerintah mulai secara serius memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan pasar modal.
Selama 12 tahun terakhir (1994 sampai dengan tahun 2005), bursa efek Jakarta (BEJ) berkembang dengan sangat pesat bila ditinjau dari berbagai indikator yang lazim digunakan sebagai tolak ukur kemajuan bursa. Jumlah emiten bertambah dari 217 (1994) menjadi 336 (2005) atau naik sebesar 54,8%. Volume saham yang tercatat bertambah dari 23.85 miliar saham (1994) menjadi 401,87 miliar saham (2005) . Demikian pula halnya dengan nilai kapitalisasi pasar setiap tahun bertambah dari Rp 103.84 triliun (1994) menjadi Rp 801.25 triliun (2005) atau naik sebesar 771,6%.
Perkembangan pasar modal juga ditentukan oleh faktor ekonomi. Hasil penelitan Machfoedz dan Suciwati (2002) menunjukkan bahwa bila nilai tukar yang berfluktuasi tinggi akan menimbulkan depresiasi nilai tukar rupiah sehingga return saham akan turun. Penelitian ini menunjukkan pula bahwa pada kondisi di mana nilai tukar rupiah mengalami depresiasi, maka reaksi pasar uang terhadap pasar modal di Indonesia mempunyai arah hubungan yang berlawanan.
Sebelum melakukan investasi di Pasar modal, hal yang perlu diperhatikan adalah kinerja pasar modal. Minat investor mencerminkan apakah suatu bursa telah bekerja secara efisien atau 2
sebaliknya, demikian pula perkembangan kinerja emiten mengalami peningkatan atau sebaliknya.
Suatu bursa disebut efisien kalau bursa tersebut dapat menyediakan jasa-jasa yang diperlukan oleh para pemodal dengan biaya minimal. Pasar modal yang efisien juga diartikan sebagai pasar yang berada dalam keadaan keseimbangan sehingga keputusan perdangangan saham berdasarkan atas informasi yang tersedia di pasar tidak dapat memberikan keuntungan di atas tingkat keuntungan keseimbangan, atau yang disebut external efficiency (Husnan, 1996).
Salah satu konsep yang membahas tentang efisiensi pasar modal adalah konsep Efficiency Market Hypothesis. Konsep ini membahas tentang reaksi pasar yang tercermin pada penyesuaian harga terhadap munculnya informasi baru. Penelitian ini akan menguji bentuk pasar modal Indonesia berdasarkan konsep Efficiency Market Hypothesis pada kondisi bullish, bearish dan gabungan keduanya.

LANDASAN TEORI
Macam-macam Pasar Efisien
Ada tiga macam pasar efisien yaitu: (1) pasar efisien secara informasi (informationally efficient market), (2) pasar efisien secara operasional (operationally efficient market) dan (3) pasar efisien secara keputusan (decisionally efficient market). Pasar efisien secara informasi (informationally efficient market) yaitu keseimbangan harga mencerminkan konsensus bersama antara semua partisipan pasar tentang nilai dari aktiva tersebut berdasarkan informasi yang tersedia secara cepat dan akurat.
Pasar efisien secara operasional (operationally efficient market) yaitu operasi pasar dapat dilakukan dengan cepat (liquid) dan biayanya murah. Terakhir adalah pasar efisien secara keputusan (decisionally efficient market) adalah pasar yang mencerminkan ketersediaan informasi dan investornya pandai untuk mengambil keputusan yang benar (kecanggihan pelaku pasar). Dari ketiga macam pasar efisien yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pasar efisien secara informasi (informationally efficient market).
Pasar Efisien Secara Informasi
Efisiensi pasar didefinisikan oleh Beaver (1989) sebagai korelasi antara harga saham dan informasi. Efisiensi pasar secara informasi pun masih dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: (1) definisi pasar efisiensi berdasarkan nilai intrinsik sekuritas, (2) definisi efisiensi pasar berdasarkan akurasi harga sekuritas (Fama, 1970), dan (3) definisi efisiensi pasar berdasarkan distribusi dari informasi (Beaver, 1989). Penelitian ini akan membahas efisiensi pasar secara informasi berdasarkan akurasi harga sekuritas.
Konsep yang membahas tentang pasar efisien secara informasi berdasarkan nilai akurasi harga sekuritas dikenal dengan konsep Efficiency market hypothesis. Konsep ini pada dasarnya berkenaan dengan reaksi pasar (yang tercermin pada penyesuaian harga) terhadap munculnya informasi baru. Fama (1970) menyajikan tiga bentuk utama efisiensi pasar berdasarkan tiga bentuk informasi, yaitu informasi masa lalu, informasi sekarang yang sedang dipublikasikan dan informasi private. Berdasarkan ketiga bentuk informasi, pasar efisien dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

1. Weak – Form Efficiency (efisiensi lemah) yaitu harga saham di pasar modal mencerminkan semua informasi historis pergerakan harga saham. Bentuk ini berkaitan dengan random walk theory yang menyatakan bahwa data masa lalu tidak berhubungan dengan nilai sekarang. Menurut teori ini, analisis teknikal yang berusaha memprediksi harga saham berdasarkan informasi harga historis adalah suatu kesia-siaan. Karakteristik weak form (Fama, 1965) adalah: (a) urutan perubahan harga independen satu sama lain dan (b) perubahan harga menyesuaikan dengan distribusi probabilitas.

2. Semi – Strong Form Efficiency (efisiensi setengah kuat) yaitu harga saham sudah mencerminkan semua informasi yang tersedia untuk publik (all publicity available information). Tidak ada investor yang mendapat untung dengan hanya mengandalkan informasi yang tersedia untuk umum. Infomasi yang dipublikasikan dapat berupa: (a) informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi hanya harga sekuritas perusahaan yang mempublikasi. Contoh: pengumuman laba, pembagian dividen dan perubahan pergantian manajemen, (b) informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi harga sekuritas sejumlah perusahaan. Contoh: regulasi pemerintah, dan ( c ) informasi yang dipublikasikan yang mempengaruhi semua harga saham perusahaan go publik. Contoh: regulasi yang mewajibkan semua perusahaan mencantumkan laporan arus kas. Jadi, analisis fundamental untuk memprediksi harga saham adalah kesia-siaan.

3. Strong – Form Efficiency (efisiensi kuat) yaitu harga saham sudah mencerminkan semua informasi tentang perusahaan baik itu informasi yang dipublikasikan ataupun informasi yang tidak dipublikasikan (private information). Dengan demikian, percuma saja usaha investor, yang mempunyai informasi umum maupun informasi orang dalam, untuk memprediksi harga saham.

Tujuan Fama (1970) membedakan tiga bentuk efisien ini adalah untuk mengklasifikasikan penelitian empiris terhadap efisiensi pasar. Ketiga bentuk pasar efisien ini saling berhubungan berupa tingkatan yang kumulatif. Artinya bentuk lemah merupakan bagian dari bentuk setengah kuat dan bentuk setengah kuat merupakan bagian dari bentuk kuat. Tingkatan kumulatif ini mempunyai implikasi bahwa pasar efisien bentuk setengah kuat adalah juga pasar efisien bentuk lemah. Pasar efisien bentuk kuat adalah juga pasar efisien bentuk setengah kuat dan pasar efisien bentuk lemah. Implikasi ini tidak berlaku sebaliknya, yaitu pasar efisien bentuk lemah tidak harus berarti pasar efisien bentuk setengah kuat (Hartono, 2005).
Konsep ini pernah diuji oleh beberapa peneliti, antara lain Cootner (1974), Fama (1965) dan Legowo dan Machfoedz (2002). Cootner (1974) menguji efisiensi pasar modal di NYSE menggunakan 45 perusahaan dengan pengukuran logaritma dari return relatif. Korelasi logaritma return relatif periode ke-t dengan logaritma return relatif periode seminggu sebelumnya dan 14 minggu sebelumnya adalah sebesar -0,047 dan 0,131. Fama (1965) dengan menggunakan pengukuran yang sama di 30 emiten yang ada di NYSE menghasilkan nilai-nilai korelasi sebesar 0,026, -0,039, -0,053, -0,57 berturut-turut untuk interval: 1 hari, 4 hari, 9 hari dan 16 hari. Hasil empiris ini menunjukkan bahwa pasar modal NYSE sudah efisien dalam bentuk lemah, karena korelasi perubahan harga antar periode tidak signifikan menunjukkan adanya independensi harga sekuritas dari satu periode ke periode yang lain.
Legowo dan Machfoedz (2002) menguji efisiensi pasar modal Indonesia menggunakan run test dengan berdasarkan data tahun 1989 (bullish) dan 1992 (normal). Hasil penelitiannya menunjukkan baik pada kondisi normal maupun bullish, pasar modal di Indonesia efisien dalam bentuk lemah.
Kondisi pasar yang sedang aktif (bull market) ditunjukkan oleh kenaikan harga saham disertai dengan kenaikan volume transaksi, frekuensi transaksi dan indeks harga saham. Sebaliknya kondisi pasar sedang lesu (bear market) ditunjukkan oleh penurunan harga saham yang diikuti dengan penurunan volume transaksi, frekuensi transaksi dan indeks harga saham (Jones, 1998).
Fluktuasi saham dapat pula terjadi dalam kurun waktu tahunan, bulanan dan bahkan mingguan. Penelitian French (1980) menunjukkan bahwa return pada hari Senin lebih rendah dibandingkan return di hari lainnya dalam satu minggu. Hasil penelitian French menunjukkan bahwa return sekuritas mempunyai pola siklikal dengan return terendah di hari Senin. Rozeff dan Kinney (1976) menunjukkan bahwa return sekuritas pada bulan Januari secara signifikan lebih besar dari return bulan-bulan yang lainnya. Return yang mereka gunakan ini adalah raw return. Ketika mereka menggunakan abnormal return yang didasarkan pada model market based pricing, efek Januari menjadi hilang.
Penelitian French (1980) dan Rozeff dan Kinney (1976) menunjukkan suatu pola pergerakan harga saham. Pola ini disebut pola siklikal yang dapat terjadi pada pasar tidak efisien bentuk lemah.
Syarat-Syarat Pasar Yang Efisien
Berikut ini adalah syarat-syarat untuk pasar yang efisien (Rodoni dan Yong, 2002 dan Hartono, 2005) yaitu:

1. Harga sekuritas ditentukan oleh demand dan supply dari banyak investor. Artinya bahwa seorang pelaku pasar tidak dapat mempengaruhi harga sekuritas. Investor adalah penerima harga (price taker).

2. Informasi tersedia secara luas untuk semua pelaku pasar pada saat yang bersamaan dan harga untuk memperoleh informasi tersebut murah.

3. Informasi dihasilkan secara acak (random) dan tiap-tiap pengumuman informasi sifatnya random satu dengan yang lainnya. Informasi dihasilkan secara random artinya bahwa investor tidak dapat memprediksi kapan emiten akan mengumumkan informasi yang baru.

4. Investor bereaksi dengan menggunakan informasi secara penuh dan cepat, sehingga harga sekuritas berubah dengan semestinya. Mencerminkan informasi tersebut untuk mencapai keseimbangan baru. Kondisi ini terjadi karena pelaku pasar merupakan individu-individu yang canggih sehingga mampu memahami dan menginterpretasikan informasi dengan cepat dan baik.

Kritik atas Efficiency Market Hypothesis
Kritik terhadap kelemahan efficiency market hypothesis telah menimbulkan teori-teori baru mengenai informasi yang mempengaruhi harga saham, seperti teori noise (noise theory) dan teori chaos (chaos theory). Teori noise (Cunningham dalam Nasution, 2001) menyebutkan bahwa attribute market breaks and excess volatility to irrational investors who overreact to the flow of information. Jadi menurut teori noise, investor di pasar modal dipengaruhi oleh aspek psikologis dan emosi yang tidak berkaitan dengan nilai-nilai fundamental. Dari sini dapat disimpulkan bahwa teori noise mengembangkan teori mengenai perubahan harga berdasarkan faktor psikologis dan emosi tidak hanya dari informasi fundamental, sedangkan teori chaos memberikan pandangan yang lebih luas.
Teori Chaos menolak teori efficiency market hypothesis dan menyatakan bahwa harga bergerak secara random dan praktis. Tetapi teori chaos ini setuju terhadap teori efficiency market hypothesis dan teori noise dalam hal informasi yang dicerna dengan cepat. Pandangan teori chaos terhadap informasi menekankan informasi tidak segera diadopsi oleh harga pasar sebagaimana diprediksi oleh teori efficiency market hypothesis dan teori noise. Teori chaos mengkonseptualkan apa yang oleh teori noise diidentifikasi sebagai informasi yang efisien.
Teori chaos melahirkan perbaikan yang dramatis atas model-model terdahulu. Pertama, teori chaos menunjukkan bahwa informasi mempunyai nilai yang berlanjut, bahkan sesudah transaksi terjadi, dengan hasil efisiensi dalam bentuk yang lemah pada pendekatan efficiency market hypothesis. Kedua, nilai yang berlanjut ini secara tidak langsung kemungkinan akan mempengaruhi kekuatan ekonomi makro, struktur dan teknis yang berjalan secara sistematis pada perilaku pasar dan harga. Mekanisme ini menunjukkan mekanisme penentuan harga pasar

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efisiensi pasar modal Indonesia pada kondisi bullish, bearish dan gabungan keduanya. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian eksplanatoris.
Penelitian jenis eksplanatoris ini sesuai dengan pengertian yang dijelaskan oleh Singarimbun dan Effendi (1995), yaitu penelitian yang dilakukan dengan maksud penjelasan (explanatory atau confirmatory), yang memberikan penjelasan atau hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesis.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah perusahaan go public di sektor properti dan realestat yangterdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ), yaitu sebanyak 33 emiten. Pemilihan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode Purposive Sampling yaitu sampel diambil berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian sehingga dapat diperoleh sampel yang representatif. Beberapa kriteria yang ditetapkan untuk memperoleh sampel meliputi:

1. Go publik terakhir tahun 1994 dan masih terdaftar di Bursa Efek Jakarta sampai dengan 31 Desember 2002. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh adanya perbedaan umur perusahaan selama menjadi perusahaan publik.

2. Perusahaan harus perusahaan di sektor properti dan realestat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari adanya bias yang disebabkan oleh perbedaan industri (industry effect).

3. Perusahaan harus mempunyai laporan keuangan tahunan mulai tahun 1994 sampai dengan tahun 2002 yang berakhir pada tanggal 31 Desember. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya pengaruh parsial dalam pengukuran variabel.

Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka dari populasi perusahaan di sektor properti dan realestat sebanyak 33 emiten yang dapat dikategorikan menjadi sampel hanya 18 emiten.
Penentuan kondisi bullish dan bearish dilakukan dengan menggunakan Indeks Harga Saham Properti (IHS Properti). Apabila Indeks Harga Saham Properti di atas 64, maka kondisi pasar modal dikatakan dalam kondisi bullish. Namun apabila Indeks Harga Saham Properti di bawah 64, maka kondisi pasar modal dikatakan dalam kondisi bearish. Penentuan indeks harga saham dengan cut of point 64 berdasarkan rata-rata (arithmatic mean) Indeks Harga Saham Properti pada tahun 1994 - 2002. Penggunaan Indeks Harga Saham Properti lebih mencerminkan fluktuasi harga perusahaan di sektor properti. Sebagai contoh pada tahun 1996, Indeks Harga Saham Gabungan meningkat sebesar 24,05 persen dibandingkan dengan tahun 1995. Namun pada tahun 1996, Indeks Harga Saham properti meningkat sebesar 35,96 persen dibandingkan dengan tahun 1995 (Tabel 1).
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 1999, IHSG berada pada posisi puncak (676,92) sedangkan IHS Properti masih menunjukkan pada posisi di bawah 64. Namun demikian IHS Properti telah mengalami kenaikan sebanyak 2 kali (55,811/27,42) dibandingkan pada tahun 1998 dan pada tahun-tahun berikutnya IHS Properti berada pada kisaran 24 sampai dengan 27. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak sama dengan perubahan Indeks Harga Saham Properti. Maknanya bahwa respons pasar terhadap saham-saham properti setelah krisis moneter sangat rendah.












Berdasarkan cut of point sebesar 64, kemudian ditentukan kondisi pasar modal apakah dalam kondisi bullish atau dalam kondisi bearish sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi di Pasar Modal
Tahun IHSG % Δ IHSG IHS Properti % Δ IHS Properti Kondisi
1994 469.64 89.232 Bullish
1995 513.85 9,41% 105.131 17,82% Bullish
1996 637.43 24,05% 143.665 35,96% Bullish
1997 401.71 -36,98% 72.000 -49,88% Bullish
1998 398.04 -0,91% 27.420 -61,92% Bearish
1999 676.92 70,06% 55.811 103,54% Bearish
2000 416.32 -38,49% 27.862 -50,08% Bearish
2001 392.04 -5,83% 26.974 -3,19% Bearish
2002 424.95 8,39% 24.325 -9,82% Bearish


Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran variabel
Variabel Dependen
Adapun yang menjadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah harga saham (Ht), yaitu pada kondisi bullish, bearish dan pada kondisi gabungan. Harga saham (Ht) diukur dengan harga saham penutupan (closing price) tahun berjalan (t) yaitu harga saham penutupan tahun 1994 sampai dengan tahun 2002.
Penentuan Kondisi Bullish dan Bearish
Biasanya untuk menentukan satu range individual menjadi satu range indikator dilakukan dengan memberi skala kemudian dirata-ratakan (Green dan Beckman, 1993). Sehingga kondisi bullish dan bearish dapat dihitung dengan merata-ratakan IHS properti dari tahun 1994 – 2002 dan diperoleh cut of point sebesar 64 (572,42/9). Berdasarkan cut of point tersebut, kondisi bullish dan kondisi bearish dapat ditentukan dengan cara berikut ini:

a. Kondisi bullish yaitu apabila indeks harga saham properti > 64.

b. Kondisi bearish yaitu apabila indeks harga saham properti < 64.

Variabel Independen
Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga saham pada saat t-1. Variabel ini diukur dengan harga saham penutupan (closing price) tahun sebelumnya (t-1) yaitu harga saham penutupan tahun 1993 sampai dengan tahun 2001.

Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber yang diterbitkan oleh pemerintah, pihak swasta maupun pihak luar negeri. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif berupa time series dan cross sectional yang diperoleh dari Bursa Efek Jakarta dan Indonesian Capital Market Directory. Sedangkan pengumpulan data, menggunakan teknik dokumentasi dengan tipe pooled data (Gujarati, 1982).
Data sekunder yang dikumpulkan berupa berupa harga saham penutupan bulanan (closing price) perusahaan sampel dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2002.


Analisis Data
Studi ini menguji adanya hubungan antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Dengan menggunakan program Eviews, autoregression dihitung dengan model berikut ini (Kodrat, 2006):
Ht = Lt + Bo Ht – 1 + et
di mana:
Ht = Harga saham t merupakan hasil market valuation para investor (pelaku pasar)
Lt = Konstanta
Bo = Konstanta
Ht – 1 = Harga saham pada t-1
et = Error term model
Model di atas merupakan model autoregression tingkat pertama (AR1). Bila koefisien autoregression model signifikan akan memberikan indikasi ketidakefisienan atau setidaknya efisien yang lemah atau weakly efficiency.
Model time series biasanya digunakan jika peneliti tidak mengetahui dengan baik variabel determinan. Dalam penelitian ini harga saham dapat dianggap sebagai hasil interaksi berbagai faktor yang ada di pasar modal yang tidak dapat diobservasi dengan jelas atau harga saham merupakan ekspektasi pasar (market expectation) terhadap kinerja perusahaan (Pindyck dan Rubinfeldt, 1991 dan Rappaport dalam Dewi, 2004).

Uji Hipotesis
Langkah-langkah dalam menguji hipotesis sebagai berikut:
a. Menghitung koefisien regresi
b. Uji t adalah pengujian hipotesis secara individual, yaitu menguji setiap koefisien regresi parsial satu
per satu.
c. Menghitung R2 untuk mengetahui seberapa besar variasi harga saham dapat diperjelas oleh variabel- variabel bebas dalam penelitian ini.

HASIL DAN DISKUSI
Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) terhadap Harga Saham Sekarang (Ht) pada Kondisi Bullish dan Bearish.
Hasil uji hipotesis dengan autoregression pada Tabel 2 menunjukkan besarnya pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) baik pada kondisi bullish dan bearish dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,4118 yang berarti 41,18% variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan (berarti) terhadap harga saham sekarang (Ht). Sisanya sebesar 58,82% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel penelitian.
Hal ini sesuai dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan yang tidak bergerak sama dengan Indeks Harga Saham Sektor Properti dan Realestat (Tabel 1). Artinya harga saham sekarang (Ht) tidak hanya dipengaruhi oleh harga saham kemarin (Ht-1) tetapi dipengaruhi oleh faktor lain di luar variabel harga.







Tabel 2. Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) Terhadap Harga Saham Sekarang (Ht)
Variabel Koefisien B p value
HSAHAM-1 0,4839 0,0000
Konstanta 257,6067 0,0047
R Squared (R2) 0,4118
Durbin-Watson 2,5236
Akaike info criterion 16,2921
Schwarz criterion 16,3333
Keterangan: Variabel dependen = Harga Saham Sekarang (Ht)
Sumber : Data Sekunder Diolah

Tabel 2 menunjukkan bahwa variabel harga saham kemarin (Ht-1) mempengaruhi harga saham sekarang (Ht). Hal ini dibuktikan adanya serial korelasi atau autokorelasi antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Artinya pada periode 1994 – 2002, pasar modal Indonesia adalah tidak efisien. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat Tabel 3 di mana harga saham cenderung mengikuti pola tertentu.
Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata harga saham di sektor properti pada kondisi bullish dan bearish berbeda. Pada kondisi bullish, harga saham di sektor properti lebih tinggi dibandingkan pada kondisi bearish. Pada kondisi bullish, harga saham tertinggi terjadi pada tahun 1994 yaitu sebesar Rp 3.173,61. Ditahun-tahun berikutnya, harga saham di sektor properti cenderung mengalami penurunan hingga mencapai Rp 702,78 di tahun 1997.

Tabel 3. Perkembangan Harga Saham Perusahaan di Sektor Properti dan Realestat 1994 – 2002
Tahun Harga Saham Penjualan Rumah
1994 Rp 3.173,61 1.900.000
1995 Rp 2.162,50 2.500.000
1996 Rp 1.727,78 2.500.000
1997 Rp 702,78 2.000.000
Rata-rata Bullish Rp 1.941,66 2.225.000
1998 Rp 329,17 1.500.000
1999 Rp 626,39 900.000
2000 Rp 271,94 942.000
2001 Rp 439,72 1.251.000
2002 Rp 370,28 2.000.000
Rata-rata Bearish Rp 407,50 1.281.400
Rata-rata Rp 1.089,35

Sumber: JSX dan Pusat Studi Properti Indonesia, data diolah.

Pada kondisi bearish, harga saham properti lebih berfluktuasi. Harga saham tertinggi terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar Rp 626,39 dan harga saham terendah terjadi pada tahun 2000 yaitu Rp 271,94.
Fuktuasi harga saham di pasar modal berbeda dengan angka penjualan properti di sektor riil (Tabel 3). Investor seringkali mempertentangkan investasi di pasar modal dan investasi di sektor riil. Peningkatan investasi di sektor riil dapat dilihat dari fluktuasi penjualan properti dan realestat. Penjualan properti selama krisis moneter di semester II 1997 mengalami penurunan sampai dititik puncak pada tahun 1999. Penjualan rumah di tahun 1995 dan 1996 hampir mencapai 2.500.000 unit, di tahun 1997 sebanyak 2.000.000 unit, di tahun 1998 sebanyak 1.500.000 unit, di tahun 1999 sebanyak 900.000 unit dan ditahun-tahun selanjutnya secara bertahap mengalami kenaikan.

Tabel 4: Pasok Kumulatif Tingkat Hunian Ruang Perkantoran Dikawasan Segitiga Emas Jakarta
Tahun Pasok (Juta m2) Tingkat Hunian (%)
1995 2,12 89,6
1996 2,43 88,2
1997 2,67 86,2
1998 2,91 60,5
Sumber: PSPI dari Jurnal Pasar Modal Indonesia, 1998

Dalam laporan Econit's Economic Outlook 1999 disebutkan pula bahwa pasar subsektor perkantoran merosot tajam akibat tingginya nilai dolar karena untuk biaya rental-nya menggunakan nilai dolar (Tabel 4). Akibatnya beberapa gedung perkantoran di area utama (CBD / Central Business District) telah ditinggalkan para tenants (penyewa atau pemakai) yang memindahkan ruang usahanya ke area sekunder dengan biaya sewa yang lebih murah. Tingkat hunian diperkirakan berkurang menjadi sekitar 60 – 70 persen (Tabel 4)
Pembangunan gedung perkantoran hampir semuanya dihentikan karena dua hal yaitu: (1) biaya modal yang semakin mahal dan (2) permintaan pasar yang terus berkurang. Bank-bank yang telah membiayai proyek-proyek macet tersebut kemungkinan akan melelangnya. Beberapa investor asing akan masuk untuk mengambil alih namun mereka masih menunggu hingga harga yang ditawarkan sudah sangat murah.
Subsektor apartemen mengalami kelesuan akibat: kerusuhan Mei dan November 1998, kaburnya para ekspatriat ke negerinya masing-masing dan tingginya nilai dolar terhadap rupiah. Banyak pembeli apartemen yang tidak sanggup meneruskan pembayaran cicilannya dan nekat melakukan cut loss (ngemplang). Tingkat hunian terus menurun hingga diperkirakan hanya sekitar 50%, malah yang berada di lokasi-lokasi yang tidak menarik tingkat huniannya lebih kecil lagi. Jumlah ruang yang kosong mengalami peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun 1997, ruang yang tidak disewa hanya 245.000 meter persegi dan pada akhir tahun 1999 menjadi 735.000 meter persegi. Peningkatan ruang kosong ini merupakan dampak dari penambahan pasokan, menyusul maraknya pembangunan gedung baru. Namun akar persoalannya adalah adanya penyusutan, penutupan, serta konsolidasi perusahaan, baik lokal maupun asing akibat kondisi perekonomian, politik dan keamanan yang belum kondusif bagi iklim investasi.
Pusat perbelanjaan atau mal adalah subsektor yang paling terpukul pada tahun-tahun krisis. Penyebabnya bukan karena sektor di atas atau melemahnya daya beli masyarakat sehingga banyak outlet yang tutup, melainkan karena aksi-aksi kerusuhan di bulan Mei dan November 1998 yang menjadikan pusat perbelanjaan sebagai pusat penjarahan, penggrusakan dan pembakaran. Dari survei yang dilakukan Pusat Studi Properti Indonesia (1999) menyimpulkan tidak kurang dari 250.750 m2 atau 13,4 persen ruang pusat perbelanjaan di Jabotabek mengalami kerusakan berat dan sebagian besar belum dapat dioperasikan kembali. Di antara yang rusak itu adalah Glodok Plasa, Slipi Jaya Plasa, Jatinegara Plasa, Plasa Klender, Lippo Super Mall, Plasa Cimone Indah, Permata Cimone Mal dan Cipulir Plasa. Kendati demikian, tingkat huniannya hanya berkurang sekitar sepuluh persen dari tahun-tahun sebelumnya, yakni menjadi sekitar 80%. Pada tahun 2002, bisnis pusat perbelanjaan memperlihatkan pertumbuhan yang cukup baik dengan tingkat hunian 90 persen sampai 95 persen (Wawa, 2002).
Subsektor Kawasan Industri (KI) yang sangat tergantung dari stabilitas politik, keamanan dan ekonomi, akibat krisis dan ketidakstabilan bidang politik dan Hankam telah mengalami kemunduran. Menurut catatan sebuah konsultan properti PT. Procon Indah (1999), para investor PMA dan PMDN berkurang 50% dan 61% bahkan kegiatan kontruksi pada proyek KI di Jabotabek seluas 2.385 hektar dihentikan. Dengan melihat perusahaan-perusahaan yang masuk KI adalah industri padat modal dan padat karya seperti bidang usaha elektronika, garmen, consumer good, ban hingga peralatan berat, dengan terjadinya stagnasi akibat krisis juga berdampak dirumahkannya ratusan bahkan jutaan karyawan.
Subsektor hotel dan resort tidak banyak terjadi perubahan. Hanya uniknya untuk hotel di area utama Jakarta pada saat terjadi kerusuhan, tingkat huniannya secara temporer melojak dratis. Hal ini karena banyak orang-orang asing dan WNI keturunan menginap di sana (terutama pada saat terjadi kerusuhan Mei 1998). Sementara proyek-proyek yang masih berjalan, khususnya di daerah tujuan wisata sempat tersendat. Pola pembangunnanya lebih berciri dari perpaduan hotel-resort-convention hall seperti yang dikembangkan di Jimbaran (Bali), Marina (Mataram) dan Tanjung Lesung (Banten).
Mulai tahun 2001 penjualan properti meningkat. Peningkatan ini disebabkan oleh rendahnya suku bunga yakni rata-rata 17 persen (2001) dan menjadi 15 persen sepanjang tahun 2002. Nilai penjualan rata-rata sebesar Rp 3,429 miliar. Namun tahun 2001, perusahaan realesat masih mengalami kerugian.

Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) terhadap Harga Saham Sekarang (Ht) pada Kondisi Bullish.
Hasil uji hipotesis dengan autoregression pada Tabel 5 menunjukkan besarnya pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) pada kondisi bullish dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,2286 yang berarti 22,86% variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan (berarti) terhadap harga saham sekarang (Ht). Sisanya sebesar 77,14% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel penelitian.
Tabel 5 menunjukkan bahwa variabel harga saham kemarin (Ht-1) mempengaruhi harga saham sekarang (Ht). Hal ini dibuktikan dengan adanya serial korelasi atau autokorelasi antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Artinya pada periode 1994 – 1997, pasar modal Indonesia adalah tidak efisien. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 3 di mana harga saham cenderung turun.

Tabel 5. Pengaruh Harga Saham (Ht-1) Terhadap Harga Saham (Ht) pada Kondisi Bullish
Variabel Koefisien B p value
HSAHAM-1 0,3989 0,0003
Konstanta 591,6375 0,0494
R Squared (R2) 0,2286
Durbin-Watson 2,9234
Akaike info criterion 17,1444
Schwarz criterion 17,2180

Keterangan : Variabel dependen = Harga Saham Sekarang (Ht)
Sumber : Data Sekunder Diolah
Pada kondisi bullish (1994 – 1997) sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3, harga saham pada tahun 1994 merupakan harga saham tertinggi yaitu sebesar Rp 3.173,61. Hal ini disebabkan bisnis perumahan mulai bergairah kembali pada tahun 1993. Akibatnya penjualan rumah meningkat hampir 40 persen (Simanungkalit, 2004).
Pada tahun tersebut, pembelian rumah bukan hanya untuk tempat tinggal tetapi sebagai sarana investasi. Sehingga walaupun pembangunan terlambat dan hanya membeli gambar, hal ini tidak menjadikan masalah. Yang penting ada discount harga yang menarik dan dapat memilih lokasi terbaik. Maknanya terjadi pasar spekulasi karena pembeli mengharapkan capital gain dalam waktu singkat.
Laju inflasi menjadi 9,8% (1993), 9,3% (1994) dan 8,6% (1995) dan tingkat suku bunga KPR menjadi 22,4% (1993), 19,6% (1994) dan 18,9% (1995). Adanya kecenderungan menurunnya tingkat suku bunga menyebabkan pada tahun 1994 pembangunan kawasan pemungkiman skala besar dan pembangunan apartemen dalam jumlah ribuan unit makin gencar.
Maraknya pembangunan properti mendorong terjadinya kelebihan pasokan. Kelebihan pasokan akan menyebabkan penurunan harga properti meskipun permintaan meningkat. Gejala ini direspons pasar modal dengan penurunan harga saham dari Rp 2.162,50 (1995) menjadi Rp 702,78 (1997).
Suku bunga sangat mempengaruhi pertumbuhan sektor properti (Simanungkalit, 2004 dan Shinta, 2003). Semakin rendah suku bunga menyebabkan beban bunga yang harus ditanggung konsumen untuk pembelian secara kredit semakin rendah. Dengan demikian akan berpengaruh terhadap permintaan properti.

Pengaruh Harga Saham Kemarin (Ht-1) terhadap Harga Saham Sekarang (Ht) pada Kondisi Bearish.
Hasil uji hipotesis dengan autoregression pada Tabel 6 menunjukkan besarnya pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) pada kondisi bearish dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,2389 yang berarti 23,89% variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan (berarti) terhadap harga saham sekarang (Ht). Sisanya sebesar 76,11% dipengaruhi oleh variabel-variabel lain di luar variabel penelitian.

Tabel 6. Pengaruh Harga Saham (Ht-1) Terhadap Harga Saham (Ht) pada Kondisi Bearish
Variabel Koefisien B p value
HSAHAM-1 0,4605 0,0000
Konstanta 189,2250 0,0016
R Squared (R2) 0,2389
Durbin-Watson 2,2521
Akaike info criterion 14,7631
Schwarz criterion 14,8186

Keterangan : Variabel dependen = Harga Saham Sekarang (Ht)
Sumber : Data Sekunder Diolah
Tabel 6 menunjukkan bahwa variabel harga saham kemarin (Ht-1) tidak mempengaruhi harga saham sekarang (Ht). Hal ini dibuktikan dengan adanya serial korelasi atau autokorelasi antara harga saham kemarin (Ht-1) dengan harga saham sekarang (Ht). Artinya pada periode 1998 – 2002, pasar modal Indonesia adalah efisien dalam bentuk lemah. Hal ini dapat dibuktikan pada Tabel 3 di mana harga saham cenderung berfluktuasi.
Pada kondisi bearish (1998 – 2002), suku bunga cenderung mengalami penurunan dari 39% (1998) menjadi 15% (2002). Pada tahun 1998 – 1999, suku bunga di Indonesia cenderung tinggi. Rata-rata SBI – 1 bulan adalah 39 persen di tahun 1998 dan 23 persen di tahun 1999. Di saat yang sama, harga properti residensial hanya mengalami kenaikan yang rendah (5 persen dan 6 persen per tahun). Turunnya suku bunga ini direspons baik oleh industri realestat yang ditunjukkan oleh kenaikan harga saham dari Rp 329,17 (1998) menjadi Rp 626,39 (1999) (Tabel 3).
Pada tahun 2000 – 2002, suku bunga SBI – 1 bulan cenderung rendah yaitu rata-rata 13 persen di tahun 2000, rata-rata 17 persen di tahun 2001 dan 15 persen sepanjang tahun 2002. Pada saat yang sama, indeks harga properti mengalami kenaikan sebesar 10 persen per tahun. Namun pasar modal tidak merespons dengan baik sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan harga saham yaitu tahun 2000 sebesar Rp 271,94, di tahun 2001 sebesar Rp 439,72 dan di tahun 2002 yaitu sebesar Rp 370,28.
Hal ini disebabkan karena selama krisis moneter, utang perusahaan di sektor properi dan realestat membengkak dan kinerja menurun. Akibatnya banyak saham properti dan realestat membuat rugi para investor sehingga pada saat ini saham properti termasuk saham yang relatif kurang likuid. Artinya bahwa sentimen pasar modal Indonesia, regional dan dunia juga sangat menentukan terhadap perkembangan harga saham properti dan realestat di bursa (Shinta, 2003).
Diskusi: Perbandingan Efisiensi Pasar Modal Pada Kondisi Bullish, Bearish dan Gabungan
Untuk menganalis informasi lebih dalam lagi akan dibandingkan ketiga kondisi tersebut dengan membandingkan data: (1) R Squared (R2), (2) Durbin-Watson test dan (3) Akaike info criterion. Data R Squared (R2) pada Tabel 2 (Kondisi Gabungan), Tabel 5 (Kondisi Bullish) dan Tabel 6 (Kondisi Bearish) masing-masing adalah 0,4118; 0,2286; dan 0,2389. Maknanya bahwa pengaruh harga saham kemarin (Ht-1) pada kondisi gabungan lebih besar dibandingkan pada kondisi bullish dan bearish.
Dari data Durbin – Watson test pada kondisi gabungan, kondisi bullish dan kondisi bearish masing-masing menunjukkan 2,5236; 2,9234; dan 2,2521. Autokorelasi paling kuat terjadi pada kondisi bullish dan paling lemah terjadi pada kondis bearish. Data Akaike info criterion pada kedua kondisi, kondisi bullish, dan kondisi bearish masing-masing menunjukkan nilai sebesar 16,2921; 17,1444; dan 14,7631. Artinya bahwa model yang terbentuk lebih baik pada kondisi bearish dan model yang kurang baik terbentuk pada kondisi bearish. Pada kondisi gabungan dan bullish pasar modal tidak efisien namun pada kondisi bearish efisiensi pasar modal Indonesia dalam bentuk lemah.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Legowo dan Machfoedz (2002). Hasil penelitian Legowo dan Machfoedz (2002) menunjukkan bahwa baik pada kondisi normal maupun bullish, pasar modal di Indonesia efisien dalam bentuk lemah.
Dengan menggunakan pendekatan psychonomic yang dikembangkan oleh Jonathan Myers (Sembel, 2001), maka dapat dijelaskan masing-masing kondisi. Pada kondisi bullish, investor menjadi sangat rasional sehingga mereka lebih bergairah untuk melakukan investasi di pasar modal. Kondisi ini menarik banyak investor pemula untuk bermain di pasar modal. Bagi pemain pemula, teknik yang paling mudah untuk bermain saham adalah dengan memperhatikan trend pasar sehingga data harga saham kemarin (Ht-1) menjadi pertimbangkan meskipun kontribusinya hanya 0,2286.
Namun pada kondisi bearish, investor menjadi sangat irrasional yang mencermikan eror, bias, emosi dan panik sehingga mereka lebih memperhatikan nilai psikologis. Nilai psikologis dipengaruhi oleh dua kelompok gaya yaitu: gaya yang terkait dengan perusahaan (seperti persepsi diri perusahaan, lingkungan ekonomi, politik dan jalur komunikasi) dan gaya yang terkait langsung pada investor (seperti efek individu dan efek investor berkelompok). Sehingga data harga saham kemarin (Ht-1) kurang menjadi pertimbangan, mereka hanya mengikuti emosi sesaat. Meskipun kontribusi Ht-1 lebih baik dibandingkan pada kondisi bullish yaitu 0,2389.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis data dan pengujian hipotesis, di bawah ini disajikan kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Pasar modal Indonesia adalah efisien dalam bentuk lemah (weak form efficiency) pada kondisi bearish dan pada kondisi gabungan dan bullish pasar modal Indonesia tidak efisien. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Legowo dan Machfoedz (2002).

2. Data gabungan dari kedua kondisi memberikan kontribusi yang lebih baik untuk mengambil keputusan dibandingkan dengan analisis data berdasarkan kondisi bullish atau kondisi bearish saja.

3. Pergerakan harga saham kemarin (Ht-1) lebih menjadi acuan investor dalam berinvestasi pada kondisi bullish dibandingkan pada kondisi bearish. Hal ini terjadi karena pada kondisi bearish investor panik sehingga mereka lebih memperhatikan sentimen pasar.

DAFTAR PUSTAKA
Beaver, W.H. 1989. Financial Reporting: An Accounting Revolution, 2nd Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Cootner, P. 1974. The Random Character of Stock Market Prices. Cambridge, MA: MIT Press.
Dewi, Ike Janita. 2004. Aksi Teori Dalam Praktik Manajemen Keuangan. Yogyakarta: Penerbit Amara Books.
Dyckman, T.R. Dan D. Morse. 1986. Efficient Capital Market and Accounting: A Critical Analysis, 2nd Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Fama, E.F. 1965. The Behavior of Stock Market Prices, Journal of Business 38 (January, 1965): 34 – 105.
Fama, E.F. 1970. Efficient Capital Markets: A Review of Theory and Empirical Work. Journal of Finance 25 (1970): 383 – 417.
French, Kenneth R. 1980. Stock Return and The Weekend Effect. Journal of Financial Economic 8 (1980): 55 – 70.
Gujarati, Damodar. 1982. Basic Econometric, 2nd ed. New York: McGraw Hill.
Hartono, Jogiyanto. 2005. Pasar Efisien Secara Keputusan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Husnan, Suad. 1996. Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, cetakan kedua. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Jones, C. 1998. Investment: Analysis and Management, 6th ed. New York: John Wiley & Sons, Inc
Jurnal Pasar Modal Indonesia, 1998.
Kodrat, David Sukardi. 2006. Pengaruh Indikator Rasio Keuangan dan Respons Pasar Terhadap Harga Saham Di Pasar Modal Indonesia Pada Kondisi Up Stream dan Down Stream (Studi Pada Industri Properti Yang Go Publik). Jurnal Ekonomi TH. XI / 02 / 2006: 130 – 149.
Legowo, Herman dan Mas'ud Machfoedz. 2002. Efisiensi Pasar Modal Perbandingan Pada Dua Periode Yang Berbeda Dalam Pasar Modal Indonesia. Bunga Rampai Kajian Teori Keuangan. Yogyakarta: BPFE – UGM.
Machfoedz dan Suciwati. 2002. Pengaruh Risiko Nilai Tukar Rupiah Terhadap Return Saham: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufactur Yang Terdaftar Di BEJ. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (17), Oktober: 347 – 360.
Nasution, Bismar. 2001. Keterbukaan Dalam Pasar Modal. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Pindyck, Robert S. dan D. L. Rubinfeldt. 1991. Econometric Models and Economic Forecast. 3rd ed. New York: McGraw Hill, Inc.
Purba, Victor. 2000. Perkembangan dan Struktur Pasar Modal Indonesia Menuju Era AFTA 2003. JSX. Maret.
Rodoni, Achmad dan Othman Yong. 2002. Analisis Investasi dan Teori Portfolio. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Rozeff, M.S. dan W.R. Kinney, Jr. 1976. Capital Market Seasonality: The Case of Stock Returns. Journal of Financial Economic 3 (1976): 379 – 402.
Santoso, Budi. 2000. Realestate Sebuah Konsep Ilmu dan Problema Pengembang Indonesia. Jakarta: CAUS – School of Real Estate.
Sembel, Roy. 2001. Rahasia Manekin. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Simanungkalit, Panagian. 2004. Bisnis Properti Menuju Crash Lagi? Jakarta: Pusat Studi Properti.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (Editor). 1995. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Shinta, Shierley. 2003. Saham Sektor Properti: Masihkah Tidak Menarik? Kompas, 24 Maret 2003.
Wawa, Jannes Eudes. 2002. Anomali Bisnis Properti. Kompas, 27 Desember 2002.

Tidak ada komentar: